Saat ini, tiap kota besar di dunia berambisi mendirikan gedung-gedung pencakar langit. Di mata Nia Gautama, hal itu adalah upaya manusia untuk meniru apa yang telah dibuat oleh sang alam. Bahkan, meniru makhluk kecil yang remeh seperti rayap.
Dalam pameran tunggalnya yang diadakan (5/3) sampai (16/3) di Bentara Budaya Jakarta, perupa yang lahir 24 Juni 2973 tersebut membangun suatu susunan instalasi yang menggunakan idiom rumah rayap: bentuk silinder yang bagian atasnya lonjong mengerucut, setinggi 1,5 sampai 2 meter dengan bahan tanah liat. Semuanya berjumlah 28 buah silinder kerucut.
Bentuk-bentuk kerucut tersebut dibentuk Nia di studio Rawa Panjang, Bekasi dan studio Alam-Alam, Jakarta. Ia melubangi, menoreh badan tanah liat selagi belum mengeras. Ia juga membuat beragam olahan dekorasi seperti wujud rumah atau gedung yang organis, seperti juga rumah rayap. Proses tersebut ia selesaikan dalam waktu 40 hari.
Dalam proses pemindahan dari studionya ke tempat pameran, bangunan-bangunan yang menyerupai rumah rayap tersebut dipotong-potong menjadi beberapa bagian. Sesampainya di tempat pameran, potongan-potongan tersebut disatukan kembali. Karena memakai sistem penomoran, proses penyatuan tersebut hanya memakan waktu dua jam saja.
Karya yang diberi judul Wondroushelter tersebut diakuinya memang terinspirasi dari rayap. “Beberapa tahun lalu, saya menemukan potongan kayu yang dimakan oleh rayap. Saya merasa bahwa akan sangat menarik bila saya membuat karya seni yang terinspirasikan dari serangga tersebut. Dan hal itu saya wujudkan dalam karya Wondroushelter ini,” ungkap Nia kepada SP.
Menurutnya, rumah rayap mempunyai konstruksi arsitektural yang sangat rumit. Di dalamnya, terbentuk lorong-lorong sempit dan ruangan kecil. Bentuk demikian, ternyata menyebabkan suhu di dalamnya tetap dingin walaupun suhu di luar ruangan sangat panas.
“Bahkan, konsep bangunan rumah rayap ini telah digunakan di Zimbabwe. Tanpa menggunakan AC, suhu di dalam gedung tetap dingin. Bayangkan betapa ramah lingkungannya bangunan tersebut. Andaikata konsep tersebut diwujudkan di seluruh dunia, maka pemanasan global pun tidak akan terjadi,“ jelas lulusan fakultas Ekonomi Universitas Triskati itu.
Hal ini pun juga diungkapkan Ketua Pengurus Harian Dewan Kesenian Jakarta Marco Kusumawijaya ketika memberikan kata sambutan dalam acara pembukaan pameran tersebut.
Menurutnya, manusia harus mengembangkan watak yang sesuai dengan keharusan membentuk habitat baru dan watak yang sesuai untuk hidup di dalam habitat baru tersebut agar dapat menyesuaikan diri dengan keadaan abad 21 ini. Dan sejauh apa habitus baru manusia dapat dibentuk sesuai dengan beroperasinya habitat baru masa depan.
Meniru alam memang strategi yang baik. Tapi ini juga bukan alasan untuk tidak mengembangkan kecerdasasan khas kita sendiri sebagai manusia, yang justru membuat mimesis menjadi bermakna memanusiakan manusia, sambil memuliakan kesatuannya dengan alam, bukan merendahkan dirinya dan alam itu sendiri.
Kita tidak boleh melupakan motivasi memuliakan kesatuan ini sebagai unsur penting dari mimesis, agar mimesis tidak menjadi lelucon yang sinis atau konyol, yang malah memisahkan yang ditiru dari yang meniru.
Sebagai contoh bodoh, ungkapnya, pohon tiruan dari plastik di jalan utama sebuah kota negeri tropis adalah tiruan yang demikian. Mimesis bukanlah tiruan murahan karena alasan-alasan mencari katarsis sesaat dan ekomomi. Mimesis yang menyatukan adalah mimesis yang bermaksud membangun komunikasi, dialog, pengenalan yang makin dalam, dan koeksistensi.
Mimesis yang demikian tidak mungkin menghilangkan identitas masing-masing, karena peleburan tanpa identitas tersendiri tidak memungkinkan dialog, tidak memperkaya masing-masing, tapi menimbulkan atau merupakan dominasi yang memiskinkan, karena bersifat mengurangi, bukan menambah
Rifky Effendy, kurator Wondroushelter, menambahkan bahwa Nia sebagai keramikus non akademis mengikuti perkembangan artistik egaliter. Ia mengambil metaphor menarik kehidupan saat ini, yaitu keinginan manusia untuk kembali ke alam.
Kekaryaan Nia memperlihatkan suatu perkembangan terakhir praktik seni rupa kontemporer. Sebagai seorang keramikus, ia melihat elemen tanah liat secara lebih jauh ke dalam konsepsi berkarya. Serta untuk bisa mengajak kita bermain dengan imajinasinya. Bukan memperlakukannya sebagai produk budaya tradisi keramik.
Tapi, lebih jauh menjadikan tanah liat sebagai materi alam yang berfungsi untuk memenuhi konsepsinya. Sekaligus untuk menunjukkan potensi material untukkebutuhan simbolik hidup isi alam ini. Seperti juga bagaimana tanah liat berguna untuk komuni rayap dan semut, atau kita bisa saksikan dalam kehidupan berbagai kebudayaan di dunia. [SRA]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar