Sabtu, 09 Agustus 2008

Generasi Hilang Tiongkok


Seperti anak muda lainnya di Changsha, Tiongkok, Mao Ce mengalami kesulitan menentukan masa depannya. “Saya merasa hidup saya seperti angin, berhembus keras dan sering berganti arah,” katanya. “Saya tidak memiliki rencana masa depan, dan memang tidak menginginkannya. Saya tidak pernah memikirkan masa depan saya.”

Komentar pemuda Tiongkok berumur 24 tahun ini bukanlah refleksi melankolis seorang pemuda tanggung. Rasa putus asa tersebut adalah suatu hal umum yang dirasakan kaum dewasa muda Changsha.

Pemuda seperti Mao Ce yang tinggal di kota metropolitan seperti Changsha menempati tempat yang unik dalam sejarah modern Tiongkok. Produk dari kebijakan satu anak pemerintah Tiongkok, mereka merasa harus menanggung kesalahan para pendahulu mereka sekaligus beradaptasi dengan perubahan pesat yang dialami negara mereka.

Tidak seperti generasi sebelum mereka yang dijamin kehidupannya oleh negara dari segi pekerjaan dan jaringan keamanan sosial, generasi ini menghadapi masa depan mereka dengan perasaan was-was. Mereka juga asing terhadap kebebasan yang dimiliki generasi yang lebih muda dari mereka.

“Pacar saya yang berumur 20 tahun hanya sedikit lebih muda dari saya. Namun, walau perbedaan umur kami hanya sedikit, ada perbedaan cara berpikir yang sangat besar. Pikirannya jauh lebih terbuka, dan cara pandangnya terhadap dunia juga berbeda dengan saya,” ungkap Mao.

Orang tuanya bercerai ketika ia masih kecil, dan Mao tinggal bersama ayah dan kakeknya di sebuah apartemen reyot di pusat kota Changsha. Ayah Mao adalah pemilik apartemen tersebut. Hal ini merupakan tanda kesuksesan kecil sang ayah dalam hirarki kehidupan masyarakat Tiongkok.

Walau masih memiliki tempat tinggal yang cukup nyaman, Mao Ce dan pemuda-pemuda Tiongkok sepeti dirinya tetap merasa tertinggal. Apalagi iklim kebebasan yang kini dimiliki Tiongkok menimbulkan keharusan untuk meraih kesuksesan bagi kaum mudanya.

“Negara ini sudah tidak seperti dulu lagi. Masyarakat kami saat ini hanya mementingkan kepentingan dirinya sendiri. Mereka hanya tertarik mendapatkan uang lebih banyak untuk membeli barang-barang bermerk dan tidak peduli terhadap orang lain,” ujar Mao.

Mao Ce dan teman-temannya, bersama dengan kaum muda Changsha yang senasib dengan mereka, akhirnya terjebak dalam sebuah ketidakpastian. Menganggur dan tidak bahagia, mereka memilih untuk merangkul sisi negatif kebebasan.

Hidup mereka akhirnya dihabiskan dengan berpesta, memakai obat-obatan terlarang dan melakukan pergaulan bebas. Beberapa diantara mereka menjalankan bisnis yang berhubungan dengan gaya hidup tersebut, seperti salon tato, toko musik dan bahkan menjadi pengedar obat-obatan terlarang.

Mao Ce sendiri kadang menjadi DJ (disc jockey) dalam acara-acara pesta, namun di kota seperti Changsha, pekerjaan tersebut tidaklah menjanjikan. Ia pun menjadi pesimis akan masa depannya.

“Dahulu, saya memiliki banyak cita-cita dan harapan. Namun, kini semua itu hanyalah sebuah mimpi kosong belaka. Saya tidak memiliki harapan apa-apa lagi terhadap hidup ini,” tandasnya. [time.com/SRA]

Tidak ada komentar: