Rabu, 16 Juli 2008

Waria Ibukota: Si ‘Cantik’ yang Mencari Nafkah di Jalanan


Malam itu, sama seperti pada malam-malam sebelumnya, perempatan jalan di depan ITC Cempaka Mas Jakarta ramai dilalui kendaraan bermotor. Keramaian tersebut hanya terhenti untuk beberapa saat ketika lampu merah menyala. Namun, jeda singkat itu ternyata tidak sepenuhnya hampa bagi para pengendara kendaraan bermotor ini. Ada sebuah sosok bertubuh sintal dan berwajah cantik yang menarik perhatian mereka.
Dengan lincah dan merdu, sosok tersebut menyanyikan lagu-lagu populer yang menghibur. Beberapa pengendara pun kemudian memberikan uang sekedarnya sebagai tanda apresiasi mereka terhadap sang biduan jalanan, bahkan ada yang sambil menggoda ketika melakukannya. Namun, sosok tersebut tidak marah dan hanya membalas dengan sebuah senyuman manis.
“Ah, saya sih udah biasa digodain, mas. Maklum aja, namanya juga mereka orang laki-laki,” ungkap Iin (25), sang sosok yang ternyata bukan seorang wanita tulen itu, kepada SP baru-baru ini.
Menurutnya, kehidupan sebagai seorang waria yang dijalaninya memang mau tidak mau penuh dengan hal-hal yang tidak menyenangkan. Namun, apabila dijalani dengan rasa takut, tentu rasa aman tidak akan pernah muncul.
Iin, yang sebetulnya memiliki nama asli Indra, kemudian bercerita awal mulanya ia datang ke Jakarta. Sekitar 5 tahun lalu, ia pergi ke ibukota dari kampung halamannya di Jawa Timur untuk bertemu dengan seorang teman. Namun, ternyata alamat yang diberikan teman tersebut salah hingga sampai sekarang pun ia tidak pernah bertemu dengan temannya itu.
Karena tidak punya ongkos pulang, maka ia pun mencoba mencari uang dengan cara mengamen di jalanan sebagai seorang waria. Ternyata, cara tersebut telah membuatnya bertahan hidup di ibukota selama ini. Dari pekerjaannya sehari-hari tersebut, ia dapat mengantungi uang sampai sebesar Rp 40 ribu setiap harinya.
Selain mengamen, Iin juga terkadang menggunakan keahliannya dalam merias dan menata rambut untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Ia sering membantu ibu-ibu tetangganya di daerah Pedongkelan, tempat tinggalnya, untuk terlihat lebih cantik ketika hendak menghadiri acara pesta pernikahan. Cita-citanya adalah memiliki salon sendiri. “Nanti kalau punya cukup uang sih, pingin buka salon sendiri,” katanya.
Walau ia menjadi seorang waria, yang oleh sebagian orang dianggap tabu, ternyata keluarga Iin di kampung halaman tidak berkeberatan dengan kenyataan tersebut. “Saya dari kecil memang sudah feminin, jadi keluarga di kampung maklum saja kalau saya sekarang seorang waria,” tuturnya.
Sebagai seorang manusia biasa, ternyata Iin juga membutuhkan cinta kasih dari pasangan. Saat ini, ia telah memiliki seorang kekasih pria yang sehari-hari berprofesi sebagai pedagang asongan yang mau menerima dirinya apa adanya. Bahkan, ia semakin sering merawat diri kini setelah bertemu pujaan hatinya.
Serupa dengan Iin, Soleha (23) mengamen di perempatan tersebut untuk mencari nafkah sehari-hari. Menurutnya, hal tersebut dilakukannya karena desakan ekonomi. “Daripada saya nggak bisa makan, lebih baik saya mengamen di sini, mas. Soalnya susah kalo mau kerja yang lain,” ungkap waria yang bernama asli Soleh ini.
Dia juga mengatakan, kesulitan terbesar yang dihadapinya ketika mengamen di jalanan adalah razia yang sering dilakukan petugas Kamtib (Keamanan dan Ketertiban) DKI Jakarta. Ketika hal itu terjadi, terkadang ia harus lari tunggang langgang menghindari kejaran petugas.
Walau sampai saat ini ia belum pernah tertangkap petugas, namun ia sangat ketakutan hal itu terjadi padanya. Berdasarkan cerita teman-temannya, perlakuan yang diterima waria yang tertangkap kurang menyenangkan.
Dia berharap, waria yang hanya mengamen seperti dirinya tidak mengalami perlakuan yang sama dengan waria yang menjajakan diri, karena pada dasarnya mereka tidak melanggar hukum. Mereka hanya berusaha bertahan hidup di ibukota.
Kekerasan di Jalanan
Berdasarkan data yang dimiliki Yayasan Srikandi Sejati, sebuah yayasan yang bergerak dalam bidang pemberdayaan waria di DKI Jakarta, hampir 60 persen waria yang tinggal di Jakarta mencari nafkah di jalanan. Sebagian besar waria tersebut berasal dari luar Jakarta dan datang ke ibukota karena tidak diterima keluarga dan masyarakat daerah asal mereka.
“Dari sekitar 4000 orang waria yang tinggal di Jakarta, hampir 60 persennya mencari uang di jalanan. Kebanyakan dari mereka berasal dari daerah dan pergi ke Jakarta karena tidak diterima keluarga dan masyarakat di daerah asal mereka. Mereka bertahan hidup di ibukota dengan cara mengamen atau menjajakan diri,” ungkap ketua Yayasan Srikandi Sejati, Lenny Sugiharto kepada SP beberapa waktu lalu.
Menurutnya, kehidupan keras di jalanan ternyata menjadi persoalan utama yang dihadapi para waria tersebut. Selama tahun 2008 ini, beberapa kasus kekerasan telah menimpa para waria yang mencari nafkah di jalanan. Bahkan, ada 3 kasus yang berujung pada kematian sang waria. Sedangkan pada tahun 2007, terjadi 5 kasus kekerasan pada waria yang berujung pada kematian.
Selain kekerasan yang terjadi dengan motif perampokan dan perseteruan antar sesama waria, ada juga kasus kekerasan yang dilakukan petugas keamanan dan ketertiban ketika melakukan razia terhadap waria yang menjajakan diri.
“Memang, waria yang menjajakan diri telah melanggar Perda yang berlaku. Namun, tidak sepantasnya mereka mendapat perlakuan kasar ketika razia dilakukan para petugas keamanan dan ketertiban,” tandasnya.
Oleh karena itu, dia menambahkan, pihaknya telah melakukan usaha pendampingan terhadap para waria yang mengalami tindakan kekerasan ketika melakukan pelaporan terhadap pihak yang berwenang. Namun, sampai saat ini, pemrosesan kasus kekerasan terhadap waria masih belum berlangsung secara memuaskan.
Proses Pembinaan
Untuk mengangkat harkat waria yang masih ‘berkeliaran’ di jalanan, Yayasan Srikandi Sejati telah melakukan berbagai upaya pembinaan agar para waria tersebut dapat memperoleh penghidupan yang layak tanpa harus menghadapi kehidupan jalanan yang keras.
Yayasan yang resmi didirikan ‘sesepuh-sesepuh’ waria, PKM UI dan berbagai pihak lainnya pada tahun 1998 ini menekankan pemberdayaan dalam bidang ekonomi dengan membantu usaha-usaha menghasilkan yang dapat dilakukan para waria.
Selain berdagang, mereka juga dilatih berbagai keahlian. Antara lain, membuat berbagai kerajinan tangan seperti kalung, anting-anting dan berbagai aksesori lainnya, keahlian tata rias, tata boga, menjahit, keahlian komputer, menyanyi dan lain sebagainya. Ada juga pelayanan konsultasi dan sosialisasi, terutama aspek kemasyarakatan, terhadap para waria.
Bahkan, sejak tahun 2002, kegiatan Yayasan Srikandi Sejati mulai ditekankan pada pelayanan kesehatan baik berupa penyebaran informasi, pengawasan maupun partisipasi dalam penyembuhan. Hal ini sehubungan dengan semakin tingginya angka penularan HIV/AIDS di kalangan waria.
Keberlangsungan yayasan ini tak lepas dari bantuan berbagai pihak baik sebagai sponsor ataupun donatur. Beberapa diantaranya adalah USAID, HIVOS dan berbagai yayasan yang bergerak pada bidang kesehatan, khususnya HIV/AIDS. Yayasan-yayasan tersebut merupakan yayasan pendamping yang menjadi bagian dari progran-program kerja Yayasan Srikandi Sejati. [SRA]

Siap Mengemban Tugas Negara


Kontingen Garuda Bhayangkara yang terdiri dari 140 orang personel siap menjalankan tugas perdamaian di Darfur, Sudan. Walau telah terjadi sejumlah insiden yang merenggut nyawa anggota pasukan perdamaian PBB, para anggota kontingen Indonesia yang telah berlatih berbulan-bulan, menyatakan siap diberangkatkan kapan saja dan tak ada sedikit pun kegentaran dalam mengemban tugas negara.
"Serangan terhadap pasukan PBB bukan hanya sekali itu saja terjadi. Apa pun yang terjadi, kami siap diberangkatkan dan akan tetap waspada ketika menjalankan tugas," kata Komandan Kontingen Garuda Bhayangkara, AKBP Johny Asadoma kepada SP di Jakarta, Jumat (11/7).
Menurut Johny, sebagian besar peralatan telah dikirimkan ke Sudan, sehingga pengiriman pasukan hanya tinggal menunggu waktu saja. Namun, diakuinya, sampai saat ini belum ada kepastian kapan pasukan akan diberangkatkan karena masih menunggu koordinasi dengan pihak PBB.
Di Darfur nantinya, Kontingen Garuda Bhayangkara akan bekerja sama dengan pihak Unamid yang terdiri dari pasukan PBB dan Uni Afrika. Tugas yang akan dijalankan adalah menjaga keamanan para pengungsi, melakukan pengawalan terhadap bantuan-bantuan internasional, melakukan pengamanan terhadap personel PBB dan aset-asetnya serta melaksanakan patroli gabungan dengan Unamid.
Demi kesuksesan misi yang diembannya, persiapan sudah dilakukan Kontingen Garuda Bhayangkara sejak awal tahun ini. Bahkan berbagai simulasi tugas yang akan mereka jalankan, seperti patroli, pengawalan dan penjagaan keamanan, telah dijalankan agar kontingen tersebut terlatih menjalankan tugas mereka di daerah konflik nantinya.
"Lamanya persiapan tersebut disebabkan kompleksnya kondisi yang akan dihadapi di Darfur. Pertikaian yang terjadi, selain antarsuku dan kelompok milisi, juga di tubuh Pemerintah Sudan sendiri," kata peraih medali emas tinju pada ajang Sea Games 1982 ini.
Johny menambahkan, persiapan secara fisik yang dilakukan pasukannya, termasuk dengan melakukan latihan pada siang hari untuk membiasakan diri dengan kondisi panas di Sudan.
Sedangkan dari segi mental, pasukannya telah terlatih untuk menjalankan misi negara kapan dan di mana saja. Bahkan, mereka sudah tidak sabar untuk berangkat.
"Secara mental, kami siap menjalankan tugas negara kapan dan di mana saja.
Bahkan, kami tidak sabar untuk diberangkatkan ke Sudan," tuturnya.
Selain dari segi fisik dan mental, lanjut mantan Kapolres Binjai, Sumut ini, pasukan juga telah dibekali dengan wawasan pengetahuan area pelaksanaan misi. Mereka juga telah dibekali kemampuan bahasa Inggris agar dapat berkomunikasi dengan masyarakat setempat dan anggota pasukan perdamaian PBB dari negara lain. [SRA/M-12]

Geliat Omprengan Malam


Dini hari itu hanya tampak beberapa orang masih berada di pinggir Jl Mayjen Sutoyo, Cawang, Jakarta Timur. Beberapa di antara mereka terlihat berjalan gontai menuju sebuah mobil yang diparkir di dekat jembatan penyeberangan tepat di depan Rumah Sakit Universitas Kristen Indonesia (UKI).
Walau mereka tidak mengenal satu sama lain, namun tujuan mereka sama ketika menaiki mobil yang ternyata adalah sebuah mobil omprengan yakni: pulang ke keluarga mereka yang telah menunggu di Kota Hujan, Bogor. Rudy (27), seorang penumpang mobil omprengan mengungkapkan, dia bekerja di sebuah kantor di kawasan Sudirman. Pada hari-hari lainnya, ia biasa menggunakan jasa kereta api (KA) untuk pulang ke rumahnya di Bogor.
Namun, hari itu ia harus bekerja lembur sehingga tidak bisa menggunakan jasa KA yang hanya beroperasi sampai malam hari. "Hari ini saya lembur makanya pulangnya jam segini. Kalau hari biasa sih, saya biasa naik kereta api Pakuan untuk pulang ke Bogor," katanya kepada SP beberapa waktu lalu. Bagi dia, naik mobil omprengan merupakan satu-satunya alternatif yang hemat dan bisa digunakan untuk pulang ke kota tempat tinggalnya, karena bus sudah tidak ada yang beroperasi pada jam tersebut.
Hal senada juga diungkapkan Adit (21), mahasiswa perguruan tinggi swasta di Grogol, Jakarta Barat, yang juga menjadi penumpang mobil omprengan. Biasanya ia naik bus jurusan Purwakarta-Bogor yang lewat daerah UKI untuk pulang ke rumahnya di kota Bogor. Namun, karena saat itu sudah lebih dari jam 12 malam, sudah tidak ada lagi bus yang melintas di kawasan itu. Mau tidak mau, ia harus menggunakan mobil omprengan yang biasa ngetem di depan UKI. Walau ongkos yang harus dibayarnya lebih besar. "Kalau saya naik bus, paling cuma bayar Rp 7.000. Kalau naik mobil omprengan ini saya harus bayar Rp 10.000," ujarnya.
Selain harus membayar ongkos lebih besar, Adit juga tidak memperoleh kenyamanan yang biasa ia temui ketika menggunakan bus. Dengan mobil omprengan, ia harus berdesak-desakan dengan penumpang lainnya selama perjalanan. "Padahal ongkosnya lebih mahal," gerutu Adit.
Perkataan Adit pun menjadi kenyataan. Mobil Daihatsu Espass yang seharusnya maksimal berisi sekitar sembilan orang, secara ajaib bisa dijejali 13 orang. Dua orang di kursi depan, empat di tengah, enam di belakang plus seorang pengemudi. Menurut Alex (36), pengemudi mobil omprengan tersebut, hal itu terpaksa dilakukan agar ongkos yang didapatkan dari penumpang dapat menutupi biaya yang harus dikeluarkan pengemudi. Karena, selain ongkos bensin, ia juga harus membayar berbagai pungutan liar.
Tak berapa lama, mobil omprengan kecil itu telah dipenuhi penumpang. Wajah-wajah letih di dalam mobil pun menjadi semakin menderita karena harus berdesak-desakan. Namun, satu hal yang pasti, penderitaan yang mereka rasakan itu akan sirna setelah sampai di rumah, bertemu dengan keluarga yang dicintai. [S Rezy Anindito]

Dua Bulan Piknik di RSCM demi sang Ayah



Verawati Fajrin (15) tampak ceria bercanda dengan adiknya, Sofifa Nurindah Saputri (4), ketika ditemui SP, beberapa hari lalu. Tidak terlihat rasa letih walau semalam ia telah menginap di selasar IRNA (Instalasi Rawat Inap) B bersama adik dan ibunya.
"Dingin dan banyak nyamuk sih, mas. Kalau enggak pakai lotion anti nyamuk sih enggak bakalan tahan nginep di sini," ujar anak perempuan yang dinamai sama dengan seorang legenda bulu tangkis putri Indonesia oleh orang tuanya tersebut dengan polos.
Menurut Vera, liburan sekolah kali ini dihabiskannya menunggu sang ayah, Fachrurir (45), yang saat ini sedang dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo (RSCM) akibat komplikasi ginjal. Hal ini dilakukannya setiap hari dengan tabah.
Berdasarkan cerita ibunda Vera, Rahayu (49), mereka sekeluarga telah cukup lama menginap di RSCM. Hampir dua bulan penuh mereka menghabiskan hari-harinya di rumah sakit itu. Suaminya yang sehari-hari berprofesi sebagai supir mikrolet 03 itu mulai dirawat 19 Mei dan diperbolehkan pulang 15 Juni.
Namun, baru seminggu berada di rumah, sang suami menderita sakit lagi sehingga harus kembali dirawat di RSCM sampai sekarang.
Seperti Piknik
Untuk keperluan sehari-hari di rumah sakit, keluarga ini membawa berbagai barang dari rumah, sehingga seperti melakukan piknik di selasar IRNA B RSCM. Bantal, guling dan selimut yang belum dibereskan tampak di atas tikar yang dihamparkan. Di salah satu sudut tikar, ada beberapa kotak yang berisi pakaian ganti. Bahkan, ada juga botol galon air mineral berisi air minum mereka sekeluarga.
Kegiatan mandi dan mencuci pun dilakukan di fasilitas umum yang disediakan rumah sakit. Setelah pakaian dicuci, Rahayu biasa menjemur pakaian basah di salah satu sudut selasar yang terkena sinar matahari. "Kalau nyuci di rumah, kasihan bapaknya anak-anak kalau ada apa-apa," ungkap Rahayu.
Sedangkan untuk makanan sehari-hari, mereka membelinya di Pasar Cikini yang letaknya tidak terlalu jauh dari RSCM. Uang untuk membeli makanan didapatkan dari hasil jerih payah anak sulung keluarga ini, Gunawan Hari Saputra (20), yang kuliah di kejuruan Teknik Komputer Universitas Indonesia. Menurut Rahayu, Heri mendapatkan uang dari hasil mengerjakan proyek di kampusnya.
"Uang untuk kebutuhan sehari-hari saya dapatkan dari anak sulung saya, yang sering mengerjakan proyek di kampusnya. Sejak ayahnya sakit, ia menjadi tulang punggung keluarga kami," ucap Rahayu dengan lirih.
Selain dari anak sulungnya, Rahayu juga mendapatkan bantuan sumbangan uang dari kerabat dan para tetangga. Para tetangga ini juga yang telah bersedia menjaga rumah mereka yang terletak di Bekasi selama keluarga ini berada di rumah sakit.
Walau telah mendapat berbagai bantuan keuangan, tapi tentu saja semua itu tidak akan mencukupi biaya rumah sakit yang sangat besar. Apalagi, penyakit yang diderita suami Rahayu cukup berat. Namun, berkat adanya Jaminan Kesehatan Masyarakat, hampir seluruh biaya pengobatan ditanggung pemerintah. Hanya biaya melakukan scan sebesar Ro 500 ribu rupiah yang harus ditanggung sendiri.
"Untung saja ada Jamkesmas. Kalau tidak, keluarga yang kurang mampu seperti keluarga kami mana mampu membayar biaya rumah sakit yang besarnya jutaan rupiah," kata Rahayu.
Dia juga berharap, bantuan jamkesmas yang diterimanya akan terus berlanjut walau suaminya sudah tidak dirawat lagi di rumah sakit. Karena, menurut penuturan dokter yang menangani, sang suami harus melakukan cuci darah secara rutin setelah perwatan di rumah sakit selesai. [S Rezy Anindito]

Korban Casa 212 Gunung Salak: Wara Istimewa Itu Pergi Terlalu Cepat


Suasana sepi menyelimuti kediaman mendiang Mayor (Sus) Susika Murdayanti, akhir pekan lalu. Malam itu, di jalan depan rumah Susika, korban tewas kecelakaan pesawat Casa 212 yang jatuh di Gunung Salak, Jawa Barat, tampak sebuah tenda menaungi kursi-kursi tempat duduk para pelayat yang hendak menyampaikan bela sungkawa.
Beberapa pelayat terlihat berbincang hangat. Sebagian besar adalah rekan kerja Susika di TNI Angkatan Udara. Raut muka mereka menunjukkan rasa kehilangan yang besar. Susika, menurut mereka, adalah seorang sosok Wanita Udara (Wara) istimewa. Di lingkungan kerjanya, dia dikenal sebagai seorang yang supel, pintar, dan profesional. "Selain pintar, almarhumah mudah bergaul dengan siapa saja di lingkungan kerjanya. Hal itu membuat kami merasa sangat kehilangan. Kepergiannya terlalu cepat," ujar rekan kerja Susika yang enggan disebutkan namanya.
Kepintaran Susika jugalah yang pernah mengantar lulusan Ilmu Geodesi Universitas Gadjah Mada itu melakukan studi lanjutan di Negeri Kangguru beberapa tahun lalu, untuk menambah kemampuannya di bidang Geo Maping. Bahkan, berkat berbagai pengetahuannya itu, Susika adalah Wara pertama dan satu-satunya yang mampu melakukan tugas pemantauan ketika sebuah misi udara dilakukan.
Aag Nugraha, suami Susika kepada SP mengatakan, kepergian istrinya secara tiba-tiba sangat memukul keluarga yang ditinggalkan. Tragisnya, kepergian mendiang ini terjadi seperti yang dialami ayah mendiang, yaitu ketika menjalankan tugas sebagai seorang anggota TNI. "Kepergiannya benar-benar tidak disangka, karena mendiang sering melakukan perjalanan udara seperti itu sebelumnya. Lebih tragis lagi, kepergian mendiang ini seperti kepergian ayahnya yaitu meninggal ketika menjalankan tugas sebagai seorang anggota TNI," ungkap pria yang bekerja di Badan Pertanahan Nasional ini.
Ditambahkan, keputusan Susika berkarier di jalur militer pun disebabkan kekaguman mendiang terhadap sosok sang ayah yang gugur ketika menjalankan tugas di Timur Timor (kini Timor Leste, Red). Ketika itu, Susika baru berusia lima tahun. Walau dilarang, dia bersikeras dengan pilihannya. "Ketika hendak bergabung dengan TNI AU, dia ditentang keras dari paman-pamannya. Namun, mendiang tetap bersikeras berkarier sebagai seorang militer seperti ayahnya," katanya.
Meskipun tidak terlalu lama merasakan kedekatan dengan sang ayah, namun kedisiplinan ala militer tertanam pada diri Susika sejak kecil. Kedisiplinan ini jugalah yang membuat dia berhasil dalam kuliah, lulus dengan predikat cum laude, dan berhasil dalam berkarier di TNI AU. Rasa kedisiplinan yang tinggi ini pun juga ditanamkan kepada anak-anaknya, Maysari Agikaputri (12) dan Julyas Gradhaputra (10). Bahkan, Susika cukup keras ketika menerapkan kedisiplinan. "Terutama bila berhubungan dengan pelajaran sekolah. Itu semua ia lakukan demi kebaikan anak-anaknya," kata Aag.
Suka Menulis
Walaupun sudah disibukkan berbagai tanggung jawab sebagai seorang Wara dan ibu bagi dua orang anak, namun Susika semasa hidupnya tetap menyisihkan waktu melakukan kegiatan yang disukainya, yaitu menulis. "Kesukaan menulis telah dimilikinya sejak dulu, bahkan sebelum kuliah," tutur suami mendiang. Susika memang cerdas dan istimewa. Banyak tulisannya dia tuangkan ke dalam blog pribadinya. Sehingga kawan-kawan dan banyak orang bisa melihat hasil karyanya via situs internet. Mendiang juga sering menyumbang tulisan bagi majalah internal yang diterbitkan Wara. Artikel-artikel yang ditulisnya sebagian besar berkaitan dengan bidang yang dikuasainya, yang tidak banyak dikuasai orang lain.
Kegemaran menulis ini juga didukung kebiasaan membaca yang dimiliki mendiang semasa hidupnya. Buku-buku yang dibacanya pun tidak hanya berkaitan dengan pekerjaan, namun juga berbagai buku yang dapat menambah wawasan. [S Rezy Anindito]

Beli Bajaj di PRJ



Warga Jakarta tentu sudah tidak asing lagi dengan kendaran roda tiga bernama bajaj. Suara bisingnya yang meraung-raung ketika sedang beroperasi di jalanan metropolitan menjadi ciri khas bagi masyarakat Ibukota. Memang, bajaj telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hiruk-pikuk kehidupan Ibukota. Selain di jalanan, ternyata bajaj juga dapat ditemui di salah satu gerai arena Pekan Raya Jakarta (PRJ) 2008. Tentu saja dengan bentuk lebih menarik ketimbang dengan yang biasa beroperasi di jalanan Ibukota, karena kendaraan itu dijual sebagai alat transportasi sehari-hari.
"Masyarakat yang tertarik dapat membeli dan menggunakannya di jalanan umum, karena kendaraan ini memiliki nomor polisi pelat hitam sehingga dapat digunakan sebagai alat transportasi sehari-hari," ungkap Iin, bagian penjualan perusahaan yang memasarkan kendaraan tersebut ketika ditemui SP Jumat (27/6) malam di arena PRJ. Menurutnya, kehadiran bajaj memang menarik perhatian para pengunjung terhadap gerai perusahaannya, yang juga menampilkan berbagai macam motor produksi nasional. [SRA/Y-4]

Tak Ada yang Berubah Selain Hidup di Jakarta Makin Sulit



Di hari jadinya yang ke-481, DKI Jakarta telah menjadi sebuah kota yang megah dan modern. Gedung-gedung pencakar langit, mal-mal dan apartemen-apartemen yang bernilai estetik tinggi menghiasi penjuru Ibukota sebagai bukti kedigdayaan bagi mereka yang berpunya di negeri ini.
Namun, tidak semua bisa menikmati segala kemegahan dan kemodernan tersebut. Ada juga yang hanya dapat melihat keagungan itu dari kejauhan, walau sebetulnya mereka juga bagian dari kehidupan metropolitan. Mereka adalah orang-orang kecil, yang tetap terpinggirkan di balik segala kemajuan Jakarta.
Dudung (36) sedang beristirahat di pelataran sebuah toko ketika ditemui SP baru-baru ini. Dari raut mukanya, terlihat rasa letih yang amat sangat. Dia pun menjelaskan bahwa dia bersama temannya, yang ketika itu sedang tertidur pulas di sebelahnya, sedang melepas lelah setelah bekerja seharian. Mereka berdua adalah petugas penjaga kebersihan yang beroperasi di sepanjang Jalan Dewi Sartika, Cawang.
Menurut Dudung, profesi tersebut sudah dijalaninya selama beberapa tahun terakhir. Walau pekerjaan yang harus dijalaninya sehari-hari cukup berat, pendapatan yang diperolehnya tidak seberapa, hanya sekitar Rp 600.000 per bulan. "Gaji saya paling cuma cukup untuk makan sehari-hari doang, Mas. Enggak bisa buat ngapa-ngapain lagi," tuturnya.
Namun, Dudung memiliki cara tersendiri untuk menambah penghasilannya. Dia memisahkan sampah plastik dan kardus dari sampah-sampah lain dan menjualnya ke pengumpul. Hasil penjualan tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan istri dan dua orang anaknya di kampung.
Walau demikian, dengan kenaikan harga berbagai bahan pokok akibat kenaikan harga BBM, uang yang bisa dikirimkannya ke kampung setiap bulannya semakin sedikit. Padahal, anaknya yang paling tua sudah harus mulai bersekolah.
Pendapatan Berkurang
Tidak heran, dengan segala tekanan ekonomi yang ada, hari ulang tahun Kota Jakarta menjadi tidak bermakna bagi Dudung. "Jakarta ulang tahun enggak ada pengaruhnya buat saya. Toh saya tetap gini-gini aja," tandas pria yang bermukim di daerah Kampung Melayu, Jakarta tersebut.
Pendapat serupa juga datang dari Rosyid (29), yang sehari-hari berjualan aksesori telepon selular di jembatan penyeberangan Cawang. Menurut warga Cililitan ini, orang kecil seperti dirinya tidak merasakan keuntungan apa-apa dari hari jadi Ibukota. "Kalau punya modal sih, bisa buka stan di PRJ (Pekan Raya Jakarta) dan dapat untung banyak. Namun, orang kecil kayak saya gini mana punya uang buat bayarnya. Untuk modal barang dagangan sehari-hari saja pas-pasan" katanya.
Rosyid menambahkan, dengan keadaan ekonomi seperti sekarang ini, pendapatannya semakin menurun karena barang dagangannya semakin sulit terjual. Bahkan, terkadang barang dagangannya tidak terjual sedikitpun dalam satu hari.
Oleh karena itu, Rosyid berharap ada perhatian dari Pemda DKI Jakarta terhadap orang-orang kecil seperti dirinya. "Keadaan seperti ini, kami benar-benar butuh perhatian dari pemerintah," ujarnya.
Tak jauh berbeda, Angga (22) mengungkapkan bahwa hari jadi ibukota yang dirayakan dengan meriah di beberapa sudut kota hanya membawa kegembiraan sesaat saja bagi dirinya. Pemuda yang sehari-hari mengamen di bus Patas jurusan Cawang-Grogol ini tidak merasakan pengaruh positif lain dari semakin bertambahnya usia ibukota. "Paling kita jadi bisa nonton kembang api di Ancol sama jalan-jalan di PRJ. Kalau pengaruh lainnya sih kagak ada," ujarnya ketika ditemui di sisi Jl MT Haryono.
Menurut Angga, perubahan yang paling dirasakannya dengan pertumbuhan usia Ibukota adalah semakin sulitnya bertahan hidup di Jakarta, apalagi dengan kenaikan harga bahan-bahan pokok. Dia cuma bisa berharap, masyarakat Ibukota yang lebih mampu mau berbagi dengan mereka yang kurang mampu, sehingga orang-orang kecil sepertinya tidak terlalu terpinggirkan. [SRA/L-8]