Rabu, 16 Juli 2008

Tak Ada yang Berubah Selain Hidup di Jakarta Makin Sulit



Di hari jadinya yang ke-481, DKI Jakarta telah menjadi sebuah kota yang megah dan modern. Gedung-gedung pencakar langit, mal-mal dan apartemen-apartemen yang bernilai estetik tinggi menghiasi penjuru Ibukota sebagai bukti kedigdayaan bagi mereka yang berpunya di negeri ini.
Namun, tidak semua bisa menikmati segala kemegahan dan kemodernan tersebut. Ada juga yang hanya dapat melihat keagungan itu dari kejauhan, walau sebetulnya mereka juga bagian dari kehidupan metropolitan. Mereka adalah orang-orang kecil, yang tetap terpinggirkan di balik segala kemajuan Jakarta.
Dudung (36) sedang beristirahat di pelataran sebuah toko ketika ditemui SP baru-baru ini. Dari raut mukanya, terlihat rasa letih yang amat sangat. Dia pun menjelaskan bahwa dia bersama temannya, yang ketika itu sedang tertidur pulas di sebelahnya, sedang melepas lelah setelah bekerja seharian. Mereka berdua adalah petugas penjaga kebersihan yang beroperasi di sepanjang Jalan Dewi Sartika, Cawang.
Menurut Dudung, profesi tersebut sudah dijalaninya selama beberapa tahun terakhir. Walau pekerjaan yang harus dijalaninya sehari-hari cukup berat, pendapatan yang diperolehnya tidak seberapa, hanya sekitar Rp 600.000 per bulan. "Gaji saya paling cuma cukup untuk makan sehari-hari doang, Mas. Enggak bisa buat ngapa-ngapain lagi," tuturnya.
Namun, Dudung memiliki cara tersendiri untuk menambah penghasilannya. Dia memisahkan sampah plastik dan kardus dari sampah-sampah lain dan menjualnya ke pengumpul. Hasil penjualan tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan istri dan dua orang anaknya di kampung.
Walau demikian, dengan kenaikan harga berbagai bahan pokok akibat kenaikan harga BBM, uang yang bisa dikirimkannya ke kampung setiap bulannya semakin sedikit. Padahal, anaknya yang paling tua sudah harus mulai bersekolah.
Pendapatan Berkurang
Tidak heran, dengan segala tekanan ekonomi yang ada, hari ulang tahun Kota Jakarta menjadi tidak bermakna bagi Dudung. "Jakarta ulang tahun enggak ada pengaruhnya buat saya. Toh saya tetap gini-gini aja," tandas pria yang bermukim di daerah Kampung Melayu, Jakarta tersebut.
Pendapat serupa juga datang dari Rosyid (29), yang sehari-hari berjualan aksesori telepon selular di jembatan penyeberangan Cawang. Menurut warga Cililitan ini, orang kecil seperti dirinya tidak merasakan keuntungan apa-apa dari hari jadi Ibukota. "Kalau punya modal sih, bisa buka stan di PRJ (Pekan Raya Jakarta) dan dapat untung banyak. Namun, orang kecil kayak saya gini mana punya uang buat bayarnya. Untuk modal barang dagangan sehari-hari saja pas-pasan" katanya.
Rosyid menambahkan, dengan keadaan ekonomi seperti sekarang ini, pendapatannya semakin menurun karena barang dagangannya semakin sulit terjual. Bahkan, terkadang barang dagangannya tidak terjual sedikitpun dalam satu hari.
Oleh karena itu, Rosyid berharap ada perhatian dari Pemda DKI Jakarta terhadap orang-orang kecil seperti dirinya. "Keadaan seperti ini, kami benar-benar butuh perhatian dari pemerintah," ujarnya.
Tak jauh berbeda, Angga (22) mengungkapkan bahwa hari jadi ibukota yang dirayakan dengan meriah di beberapa sudut kota hanya membawa kegembiraan sesaat saja bagi dirinya. Pemuda yang sehari-hari mengamen di bus Patas jurusan Cawang-Grogol ini tidak merasakan pengaruh positif lain dari semakin bertambahnya usia ibukota. "Paling kita jadi bisa nonton kembang api di Ancol sama jalan-jalan di PRJ. Kalau pengaruh lainnya sih kagak ada," ujarnya ketika ditemui di sisi Jl MT Haryono.
Menurut Angga, perubahan yang paling dirasakannya dengan pertumbuhan usia Ibukota adalah semakin sulitnya bertahan hidup di Jakarta, apalagi dengan kenaikan harga bahan-bahan pokok. Dia cuma bisa berharap, masyarakat Ibukota yang lebih mampu mau berbagi dengan mereka yang kurang mampu, sehingga orang-orang kecil sepertinya tidak terlalu terpinggirkan. [SRA/L-8]

Tidak ada komentar: