Minggu, 04 Mei 2008

Susahnya Jadi Bloger Indonesia


Setelah UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) disahkan pada 26 Maret 2008, berbagai reaksi pun bermunculan dari para bloger Indonesia. Ada ketakutan bahwa UU ITE dapat digunakan untuk membatasi aktivitas mereka dalam menyebarkan informasi. Sayang memang, ketika kegiatan membuat blog mulai digandrungi di Indonesia, muncul ketakutan untuk mengungkapkan pendapat dari para bloger.


Berbagai pendapat pun diungkapkan dalam blog mereka. Simak kutipan berikut yang diambil dari www.cosaaranda.com : UU ITE yang minggu lalu disahkan, ternyata dapat juga berpengaruh kepada kegiatan ngeblog kita. Hal ini khususnya dapat dilihat pada bab VII, pasal 26, ayat 3 sebagai berikut: mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Dari peraturan di atas, dapat diartikan bahwa sekarang kita tidak bisa lagi sembarangan menulis tentang orang lain karena apabila yang bersangkutan ‘merasa’ terhina atau tercemar nama baiknya, maka mereka dapat mengajukan tuntutan kepada kita.”

Blog lain, anggara.org yang dibuat oleh seorang bloger yang juga praktisi hukum, menyebutkan bahwa UU ITE membatasi kebebasan berekspresi: “Sekali lagi UU ITE secara umum menurut saya adalah UU yang cukup maju dan menunjukkan usaha dari bangsa Indonesia untuk memproduksi aturan yang terkait dengan informasi yang beredar di dunia maya, namun UU ini juga dicederai dengan semangat anti hak asasi manusia terutama untuk membatasi kebebasan berpendapat dan juga kebebasan berekspresi.”

Berbagai kekhawatiran serupa juga diungkapkan oleh bloger lainnya di blog mereka. Kekhawatiran tersebut terutama ditujukan kepada pasal-pasal yang dirasakan membatasai kebebasan berpendapat dan berekspresi. Apalagi ancaman hukuman yang bisa diberikan kepada para pelanggar cukup berat. Bagi mereka yang melanggar pasal 26, dapat dihukum pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.

Ketika diminta pendapatnya, para bloger kawakan juga mengungkapkan rasa khawatir mereka. Budi Putra, sang 'Bapak Bloger Indonesia', menyayangkan adanya pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE.

“Pasal pencemaran nama baik adalah pasal ‘karet’ yang ternyata masih laris hingga saat ini, dan itu ternyata juga diadopsi masuk UU ITE. Ada kekhawatiran tulisan seorang bloger bisa digunakan untuk menjatuhkan dirinya melalui pasal itu,” jelas Budi kepada SP.

Budi juga merasa hukuman yang dapat dijatuhkan kepada pelanggar pasal tersebut berlebihan. Ia berharap pasal-pasal yang kontra produktif dan bertentangan dengan UUD 45 yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat sebaiknya direvisi saja.

Pendapat serupa dikatakan oleh Donny BU, Managing Editor detikINET yang juga seorang bloger yang aktif. Menurutnya, bila seorang bloger memang ingin mencemarkan nama baik seseorang, tentu ia tidak akan menggunakan blog yang mencantumkan namanya.

“Harus dibuktikan apakah penulis blog memang mempunyai itikad buruk mencemarkan nama baik orang yang ditulis. Bila seorang bloger menulis di blognya sendiri yang mencantumkan nama aslinya, kemungkinan besar tulisan yang ia buat tidak bermaksud untuk mencemarkan nama baik seseorang, namun lebih bersifat kritik,” tutur Donny.

Donny menambahkan bahwa bila memang ingin menjelek-jelekkan nama baik seseorang, bloger bisa saja menggunakan nama alias dan proxy luar Indonesia agar jejaknya tidak ketahuan.

UU ITE, menurutnya, semakin menguatkan pendapat bahwa freedom of expression (kebebasan berekspresi) sering berbenturan dengan undang-undang yang berlaku di Indonesia. Antara hukum dan kebebasan berpendapat, belum bisa duduk berbarengan.

Donny juga mengharapkan implementasi UU ITE lebih fokus terhadap pasal-pasal yang melindungi transaksi bisnis, jangan dijadikan sebagai sarana untuk menangkap para bloger yang dianggap mencemarkan nama baik seseorang. Bila ada bloger yang dianggap melanggar bisa diingatkan terlebih dahulu sebelum diproses secara hukum.

Tidak jauh berbeda, Enda Nasution berpendapat bahwa UU ITE bisa menyebabkab pengekangan berpendapat dan berekspresi. Bloger yang menjalankan situs www.goblogmedia.com ini tidak menginginkan UU ITE dijadikan sebagai alasan untuk melakukan tindakan represif terhadap para bloger.

“Yang jelas UU ITE punya potensi represif yang mengekang kebebasan berpendapat dan berekspresi. Kita tentu tidak menginginkan untuk kembali ke jaman ORBA yang penuh dengan stabilitasi semu karena kebebasan berpendapat dan berekspresi dikekang,” papar Enda.

Menurut Enda, bentuk pengekangan terhadap para bloger bukan terhadap tulisan mereka saja, namun juga segala bentuk ekspresi pribadi seperti gambar maupun video. Hal ini tentu saja agak ironis, karena di Indonesia sedang didengung-dengungkan industri kreatif, tapi outlet kreatif seperti blog malah dikekang.

Walau demikian, Enda juga mengakui bahwa UU ITE tidak semuanya represif. Menurutnya, hanya 20 persen yang mengandung pasal-pasal represif, sedangkan sisanya mengandung peraturan tentang transaksi elektronik yang memang dibutuhkan oleh masyarakat.

“Memang benar bahwa hanya sekitar 20 persen dari UU ITE yang mengandung pasal-pasal represif. Di luar itu, UU ITE memuat peraturan-peraturan transaksi elektronik yang dibutuhkan oleh industri digital Indonesia,” jelas Enda. [SRA]

Arti Penting Museum Kebangkitan Nasional

Warga Jakarta yang bertempat tinggal di Jakarta Pusat mungkin telah sering melewati jalan Abdurahman Saleh, sebuah jalan kecil yang menghubungkan jalan Prapatan dengan Senen Raya. Namun, mungkin hanya segelintir saja yang menyadari bahwa di jalan tersebut berdiri sebuah gedung yang mempunyai arti yang sangat penting bagi bangsa Indonesia. Gedung tersebut adalah Museum Kebangkitan Nasional.

Pada awal mulanya, gedung yang kini digunakan sebagai Museum Kebangkitan Nasional tersebut adalah gedung STOVIA (School Tot Opleiding Van Inlandsche Arsten), yakni sekolah kedokteran bagi bumiputera yang berasal dari berbagai daerah di seluruh Indonesia. Gedung ini mulai diresmikan pemakaiannya untuk STOVIA pada tahun 1902.

Ketika masih berfungsi sebagai gedung STOVIA inilah terjadi sebuah kejadian penting yang tercatat dengan tinta emas dalam bagian catatan sejarah bangsa Indonesia. Seorang pemuda bernama Sutomo bersama teman-temannya yang sedang menempuh pendidikan di STOVIA mendirikan Budi Utomo, organisasi pergerakan pertama yang lahir di bumi Indonesia.

Kelahiran Budi Utomo pada 20 Mei 1908 merupakan tonggak awal kebangkitan rasa nasionalisme bangsa Indonesia. Berdirinya Budi Utomo merintis berdirinya organisasi-organisasi pergerakan lainnya seperti Sarekat Dagang Islam (SDI), Indische Partij, Perhimpunan Indonesia (Indische Vereeniging), Muhamaddiyah, juga berbagai organisasi pemuda yang bersifat kedaerahan seperti Jong Java (Tri Koro Dharmo), Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Jong Minahasa dan lain-lain. Hal itulah yang menyebabkan pemerintah menetapkan hari kelahiran Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

Seiring berjalannya waktu, gedung tersebut mengalami berbagai macam alih fungsi. Pada tahun 1926 sampai 1942, gedung ini dipergunakan sebagai pendidikan MULO dan AMS (setingkat SMP dan SMU) serta sekolah Asisten Apoteker. Ketika pendudukan Jepang terjadi di Indonesia pada tahun 1942 sampai 1945, gedung ini digunakan untuk memenjarakan tentara Belanda yang menjadi tawanan perang.

Bahkan, sebelum dipugar oleh Pemda DKI pada 6 April 1973, gedung ini dijadikan tempat bermukim oleh keluarga-keluarga bekas tentara Belanda keturunan Ambon. Setelah selesai dipugar, kawasan bangunan seluas 15.742 m2 tersebut diresmikan sebagai Gedung Kebangkitan Nasional pada 20 Mei 1974 oleh almarhum mantan Presiden Soeharto.

Pada 12 Desember 1983, Gedung Kebangkitan Nasional ditetapkan sebagai cagar budaya. Kemudian, melalui Surat Keputusan yang dikeluarkan Mendikbud pada 7 Februari 1984, Gedung Kebangkitan Nasional mulai dikelola sebagai sebuah museum yang diberi nama Museum Kebangkitan Nasional.

Dalam pengeloalaanya saat ini, ada 4 ruangan utama dalam Museum Kebangkitan Nasional, yaitu Ruang Pengenalan, Ruang Sebelum Pergerakan Nasional, Ruang Awal Kesadaran Nasional dan Ruang Pergerakan Nasional. Karena ruangan-ruangan tersebut disusun secara kronologis, maka pengunjung diharapkan melewati ruangan museum secara berurutan. Perjalanan mengelilingi museum dimulai dari Ruang Pengenalan yang berisikan informasi koleksi dan ruangan-ruangan yang ada di museum secara garis besar.

Ruangan selanjutnya adalah Ruang Sebelum Pergerakan Nasional. Dalam ruangan ini, terdapat berbagai tulisan keterangan disertai ilustrasi gambar yang bercerita tentang kedatangan bangsa Eropa di Indonesia, timbulnya penjajahan berbentuk imperialisme dan kolonialisme, serta perlawanan terhadap penjajah yang dilakukan oleh perjuangan lokal seperti yang dilakukan Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol dan pahlawan-pahlawan lainnya.

Ruangan ketiga, Ruang Awal Kesadaran Nasional, berisikan kisah-kisah dan gambar tokoh-tokoh seputar berdirinya organisasi Budi Utomo pada tahun 1908. Ruangan ini juga menampilkan koleksi alat-alat kedokteran dan keadaan sekolah STOVIA saat itu. Dari ruangan ini juga terungkap bahwa dengan pendidikan di sekolah modern dan kondisi kesehatan yang cukup baik, maka dapat timbulah rasa kesadaran berbangsa dan bernegara. Ruangan utama terakhir yaitu Ruang Pergerakan Nasional menampilkan kisah-kisah pergerakan nasional sampai diproklamasikannya kemerdekaan Bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Museum Kebangkitan Nasional juga menampilkan 3 ruangan peragaan. Ruang Peragaan Kelas STOVIA menyajikan suasana belajar di ruang kelas saat itu, Ruang Peragaan Kelas Kartini mengajak pengunjung melihat langsung kesederhanaan suasana belajar yang dilakukan oleh RA Kartini dan Ruang Peragaan Persidangan Pembelaan Dr. H.F. Roll menggambarkan pembelaan Bapak STOVIA tersebut kepada Soetomo yang akan dikeluarkan dari STOVIA karena mendirikan Budi Utomo.

Ruangan terakhir yang bisa dikunjungi di Museum Kebangkitan Nasional adalah Ruang Memorial Budi Utomo. Ruangan tersebut bisa dikatakan sebagai ruangan terpenting di Museum Kebangkitan Nasional. Di ruangan itulah, yang pada saat itu merupakan ruangan anatomi, Soetomo dan kawan-kawan mendirikan Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908. Pada saat ini, ruangan tersebut juga dilengkapi dengan patung-patung perunggu para pendiri Budi Utomo.

Generasi Muda

Selain menjadi sarana konservasi bangunan bersejarah yang dapat dinikmati oleh masyarakat umum, Museum Kebangkitan Nasional juga sangat mengutamakan pemberian pengetahuan akan perjalanan sejarah bangsa kepada generasi muda. Dengan memberikan pengetahuan tersebut, pihak museum berharap generasi muda akan memiliki rasa nasionalisme yang tinggi.

“Dengan masuknya berbagai kebudayaan asing ke Indonesia, ada kecenderungan rasa nasionalisme yang dimiliki oleh generasi muda menjadi semakin rendah. Kami berharap setelah mereka mengunjungi museum ini dan mendapatkan berbagai pengetahuan akan sejarah bangsanya, mereka memiliki semangat nasionalisme yang tinggi dan bangga menjadi bangsa Indonesia,” ungkap Kasie Koleksi dan Bimbingan Edukasi Museum Kebangkitan Nasional, Isnudi.

Isnudi kemudian mencontohkan bahwa ketika ada rombongan murid sekolah yang mengunjungi Museum Kebangkitan Nasional, maka mereka akan diberi kesempatan untuk menonton film yang menceritakan sejarah bangsa Indonesia di ruang auditorium museum. Film, tuturnya, dipilih sebagai medium penyampaian informasi karena dapat menarik perhatian sang anak dan memberikan penjelasan yang cukup lengkap.

Dalam rangka menyambut perayaan 100 Tahun Kebangkitan Nasional yang jatuh pada 20 Mei 2008, pihak museum tengah menyiapkan acara yang melibatkan generasi muda di Museum Kebangkitan Nasional. Dengan adanya acara yang melibatkan generasi muda dalam rangkaian perayaan yang memiliki tema nasional Indonesia Pasti Bisa tersebut, pihak museum berharap dapat menarik minat generasi muda terhadap acara perayaan secara keseluruhan. [Stephanus Rezy Anindito]

* foto taken by alice

“Ngapain Pusing Mikirin Global Warming?”


Seloroh di atas adalah sebuah seloroh yang dikeluarkan oleh Benny, tokoh kartun dalam serial Benny & Mice, dalam sebuah karikatur yang dipajang dalam Zona A Green Festival yang diadakan di Parkir Timur Senayan baru-baru ini. Sebuah seloroh yang mungkin merepresentasikan ketidakpedulian sebagian besar masyarakat Indonesia terhadap Global Warming (Pemanasan Global).

Dengan adanya ketidakpedulian itu, kita tidak menyadari bahwa perilaku kita sehari-hari telah turut menyebabkan terjadinya Pemanasan Global, yaitu proses peningkatan suhu rata-rata Bumi akibat meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca yang dihasilkan aktivitas manusia. Pemakaian kendaraan pribadi walau sebetulnya masih ada kendaraan umum (public transportation) yang bisa menjadi alternatif sarana transportasi menyebabkan emisi karbon berlebihan dari sektor transportasi.

Pemakaian listrik secara berlebihan juga telah menyumbang emisi karbon cukup besar ke udara. 27 persen energi listrik Indonesia dihasilkan oleh PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) yang berbahan bakar batubara. Emisi yang ditimbulkan oleh PLTU tersebut menyumbang 26 persen dari emisi karbon total Indonesia.

Bahkan, pemakaian kertas dan tisu dengan boros turut andil dalam Pemanasan Global, karena kertas dan tisu dihasilkan dari hasil pengolahan sebatang pohon. Andaikata tidak diolah, 1 hektar pohon dapat menurunkan suhu global 6-8 derajat Celsius dan dapat menyimpan air tanah sebesar 900 meter kubik per tahun.

Pemanasan Global sebetulnya telah kita rasakan langsung dampaknya saat ini. Karena Pemanasan Global, hujan turun dengan curah yang tinggi dalam sebuah periode waktu yang pendek, sedangkan di luar periode tersebut hujan jarang terjadi.

Akibatnya, air bersih sangat sulit untuk didapatkan. Bahkan, menurut data yang terungkap dalam even yang bertemakan Aksiku Untuk Bumi tersebut, hanya 54 persen dari total kebutuhan air bersih di Jakarta (sebesar 547,5 juta meter kubik per tahun) yang bisa disediakan oleh PDAM DKI Jakarta. Sisanya, sebesar 251,8 juta meter kubik per tahun, harus diperoleh masyarakat dari air tanah. Padahal, batas maksimal penggunaan air tanah adalah sebesar 186,2 juta meter kubik per tahun.

Karena eksploitasi air tanah yang berlebihan tersebut, cadangan air tanah di Jakarta terus berkurang tiap tahunnya. Beberapa daerah di Jakarta pun akhirnya mengalami kekurangan air bersih. Permukaan tanah di beberapa daerah di Jakarta pun mengalami penurunan karena eksploitasi tersebut. Bahkan, di beberapa tempat, penurunan permukaan tanah terjadi sampai sedalam 1,8 meter.

Curah hujan yang sangat tinggi karena Pemanasan Global juga sering menimbulkan bencana banjir. Kerugian yang harus kita alami pun bermacam-macam. Aktivitas sehari-hari seperti bekerja dan bersekolah menjadi terhenti karena sarana transportasi terputus akibat terhalang banjir.

Berbagai penyakit seperti penyakit kulit dan gangguan pencernaan pun merebak akibat lingkungan yang kotor karena banjir. Di daerah persawahan, gagal panen terjadi sehingga pasokan makanan terganggu. Apabila terjadi berkelanjutan, hal ini tentu saja dapat menimbulkan krisis pangan.

Upaya di Rumah

Upaya yang bisa dilakukan oleh setiap keluarga dalam mengurangi efek Pemanasan Global ternyata dapat dimulai dari rumah sendiri. Dalam Zona B Green Festival, ditunjukkan hal-hal baru yang bisa dilakukan ketika melakukan kegiatan yang berkaitan dengan berbagai area rumah seperti halaman, garasi, ruangan keluarga dan ruang tidur, ruang kerja, kamar mandi serta ruang makan dan dapur, yang dapat mengurangi efek Pemanasan Global.

Di halaman rumah, kita bisa mengkonservasi air tanah dengan cara membuat lubang resapan biopori. Selain untuk konservasi air tanah, lubang biopori juga berguna mengurangi wabah penyakit yang disebabkan oleh genangan air dan tumpukan sampah, seperti demam berdarah dan malaria. Kita juga bisa memasang lampu taman dengan sensor cahaya untuk melakukan penghematan listrik.

Untuk mengurangi emisi yang dikeluarkan oleh kendaraan pribadi, dapat ditempuh car pooling, yaitu berbagi kendaraan dengan orang lain yang memiliki tujuan searah. Cara lain yang juga bisa kita tempuh adalah melakukan ecodriving, yaitu mengendarai mobil agar hemat BBM (Bahan Bakar Minyak). Prinsip ecodriving adalah tidak ‘mengebut’ ketika mengemudikan mobil dan ketika pindah ke gigi yang lebih tinggi dilakukan dengan lambat, sedangkan ketika pindah ke gigi yang lebih rendah dilakukan dengan cepat.

Penghematan listrik dapat dilakukan di ruang keluarga, ruang tidur dan ruang kerja dengan cara menggunakan lampu hemat listrik di ruangan-ruangan tersebut. Lampu-lampu dalam rumah juga harus sering dibersihkan, karena lampu yang berdebu bisa mengurangi cahaya sebesar 5 persen. Bila diperlukan AC (air conditioner) dalam ruangan, kita bisa menggunakan AC hemat listrik yang kini telah banyak dijual.

Untuk menghemat air, gunakan shower ketika mandi. Air yang digunakan ketika mandi menggunakan shower akan lebih sedikit dibandingkan mandi cara tradisional yang menggunakan gayung. Kita juga dapat memasang toilet yang memiliki pengaturan jumlah air untuk menyiram, agar air yang dikeluarkan untuk menyiram sesuai dengan kebutuhan sehingga menghemat air.

Ketika berbelanja, kita bisa membawa tas belanjaan sendiri dari rumah. Penggunaan tas belanja plastik akan menyebabkan semakin bertambahnya sampah anorganik yang sulit diurai, sedangkan penggunaan tas belanja dari kertas merupakan suatu tindakan pemborosan kertas. Kita juga bisa menggunakan plastik bio yang mudah terurai untuk membuang sampah rumah tangga.

Berbagai informasi yang berguna mengenai Pemanasan Global disambut baik oleh pengunjung Green Festival. “Pada awalnya, saya tertarik datang ke sini karena acara ini berhubungan dengan bidang kuliah saya, Biologi. Namun, setelah melihat berbagai informasi yang diberikan, saya menyadari bahwa ada beberapa kebiasaan saya yang harus diubah agar dapat membantu mengurangi Pemanasan Global,” papar Ferry, seorang mahasiswa universitas negeri di Jakarta.

Komentar baik terhadap acara ini juga dikeluarkan oleh Amsar Adam yang diajak oleh anaknya untuk datang ke Green Festival. Menurutnya, acara ini memberikan edukasi yang sangat baik mengenai Pemanasan Global kepada masyarakat, terutama bagi anak-anak. Amsar juga menambahkan bahwa Green Festival juga harus diadakan di kota-kota lain di Indonesia, jangan hanya di Jakarta saja.

Selain pengunjung individual, Green Festival juga dikunjungi oleh rombongan murid sekolah. Menurut Didik Rahmat, guru sebuah sekolah dasar yang datang mengunjungi even ini bersama 20 orang muridnya, Green Festival mendukung pendidikan kesadaran lingkungan bagi para muridnya.

“Di sekolah, para murid diajar untuk memilah sampah organik dan sampah anorganik. Mereka juga diajari proses daur ulang sampah kertas. Hal ini berkaitan dengan program Adi Wiyata yang dikembangkankan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dalam rangka pelestarian lingkungan,” tutur Didik.

Semoga saja even ‘kampanye hijau’ ini dapat menjadi awal sebuah kesadaran lingkungan dalam diri masyarakat Indonesia, sehingga slogan “Aksiku Untuk Bumi” tersebut tidak akan menjadi sebuah slogan kosong tanpa adanya aksi nyata. Mari kita semua berusaha untuk mewujudkannya! [Stephanus Rezy Anindito]

Kemoceng, Modal Bertahan Hidup di Ibukota

Hari itu, seperti biasa, perempatan jalan di depan ITC Cempaka Mas Jakarta ramai dilalui oleh kendaraan bermotor. Keramaian tersebut hanya terhenti untuk beberapa saat ketika lampu merah menyala. Namun, jeda singkat itu ternyata cukup digunakan untuk mengais rejeki oleh seorang ibu. Dengan sebatang kemoceng di tangan, uang pun bisa ia dapatkan.

Lies, nama ibu tersebut, dengan cekatan membersihkan kaca depan mobil-mobil yang sedang berhenti dengan kemocengnya yang terlihat sudah cukup lapuk. Setelah selesai membersihkan, dengan cepat ia meminta imbalan kepada para pengemudi mobil. Menurutnya, hal itu ia lakukan setiap hari untuk menyambung hidup dirinya dan 4 orang anaknya.

“ Yah, beginilah cara saya dapetin duit sehari-hari. Kalau nggak begini, mau dapat duit dari mana lagi? Suami saya sudah lama meninggal,” ungkap Lies kepada SP.

Lies mengakui bahwa pekerjaan yang ia lakukan mungkin tidak terlalu membantu membersihkan mobil-mobil di lampu merah. Namun, ia mengatakan bahwa ia tidak bisa melakukan hal lain untuk mendapatkan uang. Ia kesulitan kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak karena ia hanya mengantungi ijazah SMP. Untuk mengamen ia mengaku tidak bisa menyanyi dengan bagus, sedangkan untuk berdagang ia tidak punya modal.

Perempuan yang berusia 42 tahun itu kemudian menjelaskan bahwa setelah suaminya yang berprofesi sebagai supir truk meninggal dunia 5 tahun lalu, mau tidak mau ia harus menjadi tulang punggung keluarganya. Sebelumnya, ia bekerja sebagai buruh di pabrik sepatu yang terletak di kota Bogor. Namun, setelah pabrik tersebut bangkrut, ia pun tidak mempunyai pekerjaan dan terpaksa mengais rejeki di perempatan tersebut.

Ide untuk mencari uang dengan cara membersihkan kaca depan mobil dengan kemoceng berasal dari teman Lies yang bernama Mirah, yang telah lebih dahulu beroperasi di perempatan jalan depan ITC Cempaka Mas tersebut. Walau pada awalnya canggung, Lies mengaku bahwa kini ia telah terbiasa dan tidak canggung lagi ketika melakukan pekerjaan tersebut.

Lies mengakui bahwa mencari uang di perempatan seperti yang telah ia lakukan selama ini memang jauh dari kenyamanan. Setiap hari ia harus bergelut dengan terik matahari dan polusi dari kendaraan bermotor yang berlalu lalang. Belum lagi kemungkinan terjaring oleh petugas Kamtib (Keamanan dan Ketertiban) yang mengadakan razia.

“Saya sebenarnya sudah 2 kali ditangkap Kamtib. Saya takut kalau saya ditangkap lagi saya akan dihukum. Tapi, mau bagaimana lagi? Kalau saya tidak mencari makan di sini, gimana saya bisa ngidupin keluarga saya,” ujar perempuan yang berasal dari Palembang itu.

Walau berbagai kesulitan tersebut harus ia hadapi setiap harinya, uang yang bisa Lies dapatkan ternyata tidaklah besar. Biasanya ia hanya menerima Rp 500 dari para pengemudi yang mau memberinya uang. Bila ada yang berbaik hati, kadang ia menerima Rp 1000.

Setiap harinya Lies hanya mampu mengumpulkan Rp 15.000 – Rp 30.000. Uang sejumlah itu diakuinya hanya cukup untuk membeli kebutuhan sehari-hari saja. Untung saja anak sulungnya yang telah lulus SMU kini bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik yang terletak di Jakarta Utara, sehingga bisa turut membantu dirinya dalam menghidupi keluarga.

Dengan berbagai kesulitan hidup yang ia alami di Jakarta, Lies mengakui bahwa ia sebetulnya sudah tidak betah tinggal di ibukota dan ingin pulang kampung saja. Apalagi harga-harga barang kebutuhan pokok semakin meningkat, sehingga hidup di ibukota semakin sulit untuk rakyat miskin seperti dirinya.

“Untuk bertahan hidup di Jakarta memang sangat sulit. Apalagi saat ini harga-harga barang semakin mahal. Rasanya saya ingin pulang kampung saja,” papar Lies.

Namun, menurutnya, saat ini ia tidak punya cukup uang untuk pulang ke Palembang. Ia berharap akan ada uluran tangan dari Pemerintah Daerah DKI Jakarta terhadap dirinya, seperti bantuan modal agar ia bisa memulai hidup baru yang lebih sejahtera di kampung halaman. Lies juga menambahkan bahwa tanpa bantuan dari pihak lain, rakyat miskin seperti dirinya akan sangat sulit untuk dapat merubah nasib. [SRA]

Di Balik Estetika Rumah Rayap


Saat ini, tiap kota besar di dunia berambisi mendirikan gedung-gedung pencakar langit. Di mata Nia Gautama, hal itu adalah upaya manusia untuk meniru apa yang telah dibuat oleh sang alam. Bahkan, meniru makhluk kecil yang remeh seperti rayap.

Dalam pameran tunggalnya yang diadakan (5/3) sampai (16/3) di Bentara Budaya Jakarta, perupa yang lahir 24 Juni 2973 tersebut membangun suatu susunan instalasi yang menggunakan idiom rumah rayap: bentuk silinder yang bagian atasnya lonjong mengerucut, setinggi 1,5 sampai 2 meter dengan bahan tanah liat. Semuanya berjumlah 28 buah silinder kerucut.

Bentuk-bentuk kerucut tersebut dibentuk Nia di studio Rawa Panjang, Bekasi dan studio Alam-Alam, Jakarta. Ia melubangi, menoreh badan tanah liat selagi belum mengeras. Ia juga membuat beragam olahan dekorasi seperti wujud rumah atau gedung yang organis, seperti juga rumah rayap. Proses tersebut ia selesaikan dalam waktu 40 hari.

Dalam proses pemindahan dari studionya ke tempat pameran, bangunan-bangunan yang menyerupai rumah rayap tersebut dipotong-potong menjadi beberapa bagian. Sesampainya di tempat pameran, potongan-potongan tersebut disatukan kembali. Karena memakai sistem penomoran, proses penyatuan tersebut hanya memakan waktu dua jam saja.

Karya yang diberi judul Wondroushelter tersebut diakuinya memang terinspirasi dari rayap. “Beberapa tahun lalu, saya menemukan potongan kayu yang dimakan oleh rayap. Saya merasa bahwa akan sangat menarik bila saya membuat karya seni yang terinspirasikan dari serangga tersebut. Dan hal itu saya wujudkan dalam karya Wondroushelter ini,” ungkap Nia kepada SP.

Menurutnya, rumah rayap mempunyai konstruksi arsitektural yang sangat rumit. Di dalamnya, terbentuk lorong-lorong sempit dan ruangan kecil. Bentuk demikian, ternyata menyebabkan suhu di dalamnya tetap dingin walaupun suhu di luar ruangan sangat panas.

“Bahkan, konsep bangunan rumah rayap ini telah digunakan di Zimbabwe. Tanpa menggunakan AC, suhu di dalam gedung tetap dingin. Bayangkan betapa ramah lingkungannya bangunan tersebut. Andaikata konsep tersebut diwujudkan di seluruh dunia, maka pemanasan global pun tidak akan terjadi,“ jelas lulusan fakultas Ekonomi Universitas Triskati itu.

Hal ini pun juga diungkapkan Ketua Pengurus Harian Dewan Kesenian Jakarta Marco Kusumawijaya ketika memberikan kata sambutan dalam acara pembukaan pameran tersebut.

Menurutnya, manusia harus mengembangkan watak yang sesuai dengan keharusan membentuk habitat baru dan watak yang sesuai untuk hidup di dalam habitat baru tersebut agar dapat menyesuaikan diri dengan keadaan abad 21 ini. Dan sejauh apa habitus baru manusia dapat dibentuk sesuai dengan beroperasinya habitat baru masa depan.

Meniru alam memang strategi yang baik. Tapi ini juga bukan alasan untuk tidak mengembangkan kecerdasasan khas kita sendiri sebagai manusia, yang justru membuat mimesis menjadi bermakna memanusiakan manusia, sambil memuliakan kesatuannya dengan alam, bukan merendahkan dirinya dan alam itu sendiri.

Kita tidak boleh melupakan motivasi memuliakan kesatuan ini sebagai unsur penting dari mimesis, agar mimesis tidak menjadi lelucon yang sinis atau konyol, yang malah memisahkan yang ditiru dari yang meniru.

Sebagai contoh bodoh, ungkapnya, pohon tiruan dari plastik di jalan utama sebuah kota negeri tropis adalah tiruan yang demikian. Mimesis bukanlah tiruan murahan karena alasan-alasan mencari katarsis sesaat dan ekomomi. Mimesis yang menyatukan adalah mimesis yang bermaksud membangun komunikasi, dialog, pengenalan yang makin dalam, dan koeksistensi.

Mimesis yang demikian tidak mungkin menghilangkan identitas masing-masing, karena peleburan tanpa identitas tersendiri tidak memungkinkan dialog, tidak memperkaya masing-masing, tapi menimbulkan atau merupakan dominasi yang memiskinkan, karena bersifat mengurangi, bukan menambah

Rifky Effendy, kurator Wondroushelter, menambahkan bahwa Nia sebagai keramikus non akademis mengikuti perkembangan artistik egaliter. Ia mengambil metaphor menarik kehidupan saat ini, yaitu keinginan manusia untuk kembali ke alam.

Kekaryaan Nia memperlihatkan suatu perkembangan terakhir praktik seni rupa kontemporer. Sebagai seorang keramikus, ia melihat elemen tanah liat secara lebih jauh ke dalam konsepsi berkarya. Serta untuk bisa mengajak kita bermain dengan imajinasinya. Bukan memperlakukannya sebagai produk budaya tradisi keramik.

Tapi, lebih jauh menjadikan tanah liat sebagai materi alam yang berfungsi untuk memenuhi konsepsinya. Sekaligus untuk menunjukkan potensi material untukkebutuhan simbolik hidup isi alam ini. Seperti juga bagaimana tanah liat berguna untuk komuni rayap dan semut, atau kita bisa saksikan dalam kehidupan berbagai kebudayaan di dunia. [SRA]