Sabtu, 09 Agustus 2008

For The First Time, GP F1 Singapura!



Grand Prix Formula 1 (GP F1) untuk pertama kalinya diadakan di Singapura pada 26 sampai 28 September 2008. Penyelenggaraan kompetisi tersebut semakin bertambah unik karena diadakan malam hari, sesuatu hal yang baru pertama kali dilakukan dalam sebuah perlombaan F1.

Menurut Direktur Regional Singapore Tourism Board (STB) untuk Indonesia, Filipina dan Brunei Darussalam, Chooi Yee Choong, keselamatan seluruh pembalap yang ikut berlaga tetap terjamin walau perlombaan diadakan pada malam hari.

“Pihak panitia telah melakukan banyak tes untuk memastikan keselamatan para pembalap ketika berlomba. Sirkuit juga akan dilengkapi special lightings sehingga para pembalap tidak akan mengalami kesulitan membalap saat malam hari,” kata Chooi dalam sebuah konferensi pers yang diadakan Kamis (7/8) di Jakarta.

Dia menjelaskan, The 2008 Formula One Singtel Singapore Grand Prix sengaja digelar pada malam hari agar perlombaan tersebut tetap dapat disaksikan pada siang hari oleh penonton setia F1 yang berada di Eropa. Selain itu, juga karena menyesuaikan dengan udara panas pada siang hari di Singapura yang kurang cocok untuk digunakan untuk mengadakan perlombaan F1.

Selain merupakan GP F1 yang pertama kali diadakan malam hari, perlombaan di Singapura juga merupakan perlombaan F1 yang pertama kali diadakan di jalan raya sebuah kota di Asia. Perlombaan ini akan berlangsung di sirkuit jalan raya di sekitar daerah Marina Bay di Singapura.

Chooi juga menyebutkan, dari sekitar 93 persen tiket yang telah terjual, 40 persen merupakan tiket yang dijual kepada pononton yang berasal dari luar Singapura. Penonton Indonesia merupakan target pasar terbesar penjualan tiket tersebut.

“Penonton yang berasal dari Indonesia merupakan target pasar terbesar penjualan tiket di luar Singapura,” kata Chooi.

Penyelenggaraan F1 di Singapura akan terus berkelanjutan, paling tidak sampai lima tahun ke depan, karena telah dibuat kontrak persetujuan kerja sama selama lima tahun antara penyelenggara F1 dengan pihak Singapura.

Berkaitan dengan penyelenggaraan F1 di Singapura, STB juga menggelar Singapore GP Season, yang akan berlangsung dari 20 September sampai 5 Oktober 2008. Menurut Direktur Leisure Marketing and Events Management STB, Geraldine Yeo, akan digelar berbagai acara yang menarik dan unik, seperti Bvlgari Watch Exhibition, Singapore Motorshow, konser artis Jazz Diana Krall, Singapore River Festival serta Singapore Biennale.

“Penyelenggaraan F1 di Singapura akan full of celebration. Kami berharap para pengunjung akan menikmati kehadiran mereka dalam event ini,” kata Geraldine. [SRA]

Yao Ming, ‘Raksasa’ Baik Hati dari Tiongkok



Walau atlet juara dunia lari halang rintang 110 meter asal Tiongkok, Liu Xiang, telah dipastikan akan menjadi idola dalam Olimpiade Beijing, namun namanya tetap saja kalah dari atlet bola basket bertubuh ‘raksasa’ kebanggan masyarakat negara tersebut, Yao Ming.

Wajah tampan Xiang memang sesuai dengan selera modern anak muda Tiongkok, namun hal ini tetap saja tidak bisa menandingi popularitas pria yang memiliki tinggi sekitar 2,3 meter tersebut di negara tirai bambu.

Yao Ming, yang dikenal dunia dengan sebutan Yao, adalah seorang pria besar dengan hati yang besar. Dia dengan serta merta menyumbangkan 2 juta poundsterling (sekitar Rp 36 miliar) kepada para korban gempa bumi di Sichuan, hanya beberapa jam setelah ia mendengar kejadian tersebut.

Walau terkesan seorang ‘anak manis’, namun ia bukanlah seorang yang bisa berdiam diri ketika sesuatu yang salah terjadi. Dia telah menyuarakan ketidaksetujuannya terhadap konsumsi sirip ikan hiu yang dilakukan orang-orang di negaranya dan juga mengkampanyekan agar para pemain Tiongkok lainnya diperkenankan untuk bermain di Eropa agar mendapat pengalaman.

Selain itu, walau telah menjadi seorang pemain bola basket yang sukses di Amerika Serikat, Yao tetap bersedia untuk membela Tiongkok ketika dibutuhkan. Padahal setelah melakukan negosiasi kontrak dengan tim basket NBA Houston Rocket yang dibelanya, dia telah memperoleh pendapatan yang luar biasa besar: sekitar 30 juta poundsterling (sekitar Rp 546 miliar) per tahun.

Jumlah yang sangat luar biasa tersebut dapat membuat orang menjadi besar kepala. Namun, hal ini tidak berlaku bagi Yao. Kenyataan ini jugalah yang membuatnya sangat populer di mata masyarakat negara asalnya tersebut.

“Dia bukan hanya seorang pemain bola basket yang hebat,” kata Xu Jicheng, salah satu komentator pertandingan bola basket terkenal Tiongkok. “Dia juga seorang manusia yang memiliki hati yang hebat.”

Yao memang memiliki badan raksasa, namun hal ini tidak membuatnya terlihat aneh. Dia adalah seorang atlet yang memiliki bentuk tubuh yang proporsional. Bila tidak dibandingkan dengan orang lain, ia hanya terlihat sebagai seorang pria berbadan besar. Dia hanya terlihat sangat besar ketika dibandingkan dengan pria lain yang memiliki tinggi 210 sentimeter.

Ketika ia bertanding untuk pertama kalinya melawan sesama pemain NBA asal Tiongkok, Yi Jianlian, pada November tahun lalu, pertandingan tersebut disiarkan di 19 jaringan TV dan disaksikan lebih dari 200 juta orang di Tiongkok saja, membuatnya menjadi pertandingan yang ditonton oleh paling banyak orang dalam sejarah NBA.

Bukan hanya memiliki kemampuan bermain bola basket yang hebat sehingga terpilih menjadi anggota NBA All-Stars sebanyak enam kali, namun Yao juga memiliki peran penting dalam mewujudkan rencana ambisius NBA untuk membuat NBA Tiongkok yang beranggotakan 12 tim. Yao Ming, Yi Jianlian dan beberapa pemain lainnya telah secara efektif menjual permainan tersebut kepada negara yang memiliki penduduk terbanyak di dunia.

“Dalam dua tahun terakhir, dia telah menjadi seorang pemain hebat. Dia adalah salah satu pemain bola basket bertubuh besar yang benar-benar dapat bermain bola basket dengan baik,” kata Kepala Biro Majalah Bola Basket Amerika Serikat Slam di Tiongkok, Alan Paul.

“Dia memiliki tinggi badan yang menakjubkan, namun juga memiliki kemampuan bermain yang tinggi. Saya rasa semua tim yang ada di dunia akan sangat beruntung bila bisa memakai jasanya. Ini adalah sebuah situasi yang menguntungkan semua pihak. Pihak NBA memiliki Yao Ming sehingga bisa menarik perhatian masyarakat Tiongkok. Dan Yao Ming dapat bermain pada level tertinggi sehingga bisa menaikkan standar permainan bola basket tim Tiongkok dan bahkan bisa mencapai hasil yang luar biasa dalam Olimpiade.”

Tinggi badan Yao, dan juga mungkin keahlian bermain basketnya, berasal dari kedua orang tuanya. Ayahnya memiliki tinggi badan 210 sentimeter dan merupakan mantan pemain Centre bagi Shanghai, sementara ibunya dengan tinggi badan 190 sentimeter adalah mantan kapten tim nasional bola basket putri Tiongkok.

Pada umur 9 tahun, tinggi Yao telah satu kaki (sekitar 30 sentimeter) lebih tinggi dari teman-teman sekelasnya dan telah dimasukkan ke dalam sistem pembinaan olahraga Tiongkok. Lima tahun kemudian, dia menjadi pemain professional dan pada usia 18 tahun, dia mewakil Tiongkok untuk pertama kalinya dalam tingkat senior dan mendapat perhatian para pencari bakat NBA.

Pada tahun 2000, Yao bergabung bersama dua pemain NBA asal Tiongkok pertama, Wang Zhizhi dan Menk Bateer, untuk membentuk “Tembok Besar” dalam Olimpiade Sydney.

Setelah klubnya, Shanghai Sharks, memenangkan kejuaraan Chinese Basketball Association pada 2002, nama Yao masuk dalam proses pemilihan pemain baru (draft) NBA dan menjadi pemain internasional pertama yang menjadi pemain nomer satu yang terpilih ketika klub Houston Rockets memilihnya. Dalam 400 pertandingan NBA yang telah dijalaninya, Yao mencetak rata-rata 19 angka dan 10 rebound per pertandingan, sebuah statistik yang sangat bagus untuk seorang pemain NBA. [SRA]

Generasi Hilang Tiongkok


Seperti anak muda lainnya di Changsha, Tiongkok, Mao Ce mengalami kesulitan menentukan masa depannya. “Saya merasa hidup saya seperti angin, berhembus keras dan sering berganti arah,” katanya. “Saya tidak memiliki rencana masa depan, dan memang tidak menginginkannya. Saya tidak pernah memikirkan masa depan saya.”

Komentar pemuda Tiongkok berumur 24 tahun ini bukanlah refleksi melankolis seorang pemuda tanggung. Rasa putus asa tersebut adalah suatu hal umum yang dirasakan kaum dewasa muda Changsha.

Pemuda seperti Mao Ce yang tinggal di kota metropolitan seperti Changsha menempati tempat yang unik dalam sejarah modern Tiongkok. Produk dari kebijakan satu anak pemerintah Tiongkok, mereka merasa harus menanggung kesalahan para pendahulu mereka sekaligus beradaptasi dengan perubahan pesat yang dialami negara mereka.

Tidak seperti generasi sebelum mereka yang dijamin kehidupannya oleh negara dari segi pekerjaan dan jaringan keamanan sosial, generasi ini menghadapi masa depan mereka dengan perasaan was-was. Mereka juga asing terhadap kebebasan yang dimiliki generasi yang lebih muda dari mereka.

“Pacar saya yang berumur 20 tahun hanya sedikit lebih muda dari saya. Namun, walau perbedaan umur kami hanya sedikit, ada perbedaan cara berpikir yang sangat besar. Pikirannya jauh lebih terbuka, dan cara pandangnya terhadap dunia juga berbeda dengan saya,” ungkap Mao.

Orang tuanya bercerai ketika ia masih kecil, dan Mao tinggal bersama ayah dan kakeknya di sebuah apartemen reyot di pusat kota Changsha. Ayah Mao adalah pemilik apartemen tersebut. Hal ini merupakan tanda kesuksesan kecil sang ayah dalam hirarki kehidupan masyarakat Tiongkok.

Walau masih memiliki tempat tinggal yang cukup nyaman, Mao Ce dan pemuda-pemuda Tiongkok sepeti dirinya tetap merasa tertinggal. Apalagi iklim kebebasan yang kini dimiliki Tiongkok menimbulkan keharusan untuk meraih kesuksesan bagi kaum mudanya.

“Negara ini sudah tidak seperti dulu lagi. Masyarakat kami saat ini hanya mementingkan kepentingan dirinya sendiri. Mereka hanya tertarik mendapatkan uang lebih banyak untuk membeli barang-barang bermerk dan tidak peduli terhadap orang lain,” ujar Mao.

Mao Ce dan teman-temannya, bersama dengan kaum muda Changsha yang senasib dengan mereka, akhirnya terjebak dalam sebuah ketidakpastian. Menganggur dan tidak bahagia, mereka memilih untuk merangkul sisi negatif kebebasan.

Hidup mereka akhirnya dihabiskan dengan berpesta, memakai obat-obatan terlarang dan melakukan pergaulan bebas. Beberapa diantara mereka menjalankan bisnis yang berhubungan dengan gaya hidup tersebut, seperti salon tato, toko musik dan bahkan menjadi pengedar obat-obatan terlarang.

Mao Ce sendiri kadang menjadi DJ (disc jockey) dalam acara-acara pesta, namun di kota seperti Changsha, pekerjaan tersebut tidaklah menjanjikan. Ia pun menjadi pesimis akan masa depannya.

“Dahulu, saya memiliki banyak cita-cita dan harapan. Namun, kini semua itu hanyalah sebuah mimpi kosong belaka. Saya tidak memiliki harapan apa-apa lagi terhadap hidup ini,” tandasnya. [time.com/SRA]

Dari Al Capone sampai Al Qaeda


FBI di usianya yang ke 100

FBI (Federal Bureau of Investigation), biro federal negara adidaya Amerika Serikat (AS), mendapatkan reputasi bagus di masa lalu karena berhasil menangkap para perampok bank terkenal seperti Bonny dan Clyde serta Al Capone. Namun pada tahun 2008 ini, setelah mencapai usianya yang ke 100, misi agensi tersebut telah mengalami perubahan.

Para penjahat nomor satu dunia saat ini tidak membawa senapan jenis Tommy gun untuk merampok bank atau menimbulkan kekacauan lainnya. Mereka lebih memilih untuk membawa pemotong kabel dan membuat bom untuk melakukan pembunuhan masal.

Sejak terjadinya peristiwa 11 September pada 2001, prioritas utama FBI adalah mencegah terjadinya serangan teroris di wilayah Amerika Serikat. Setiap harinya, mereka harus menangani ratusan kasus yang berhubungan dengan ancaman terhadap negara tersebut.

Walau beberapa kasus dapat dipecahkan dengan mudah, namun beberapa kasus lainnya membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk dipecahkan. Sebagai contohnya, beberapa waktu lalu, lebih dari 20 petugas lapangan menyelidiki seorang pria yang mencoba membayar tunai untuk mendapatkan latihan terbang membasmi serangga.

Hal ini menimbulkan kecurigaan pihak FBI karena beberapa orang yang telah ditahan mengungkapkan rencana menggunakan cara tersebut untuk melancarkan serangan senjata biologi di wilayah negara Paman Sam. Namun, setelah melakukan investigasi menyeluruh, para agen mendapatkan kesimpulan rencana tersebut tidak benar.

Multi Tugas

Para agen FBI adalah pekerja multi tugas yang mumpuni. Mereka terbiasa menangani beberapa kasus dalam waktu bersamaan. Scott Robinson, telah bertugas bersama regu di Newark selama empat tahun, menangani laporan target laser yang ditujukan ke pesawat terbang sambil menangani kasus kecurigaan terhadap seorang pria yang telah membeli tiket pesawat ke luar negeri dan tidak membeli tiket pulang ke AS.

“Semua tergantung pada keadaan di lapangan. Namun, bila sesuatu yang darurat terjadi, anda harus meninggalkan kasus yang sedang anda tangani,” ucap Robinson.

Selain melakukan penelitian dan wawancara, Robinson sering mencari informasi dari agensi lain di Amerika. Dalam hari-harinya, Robinson berhubungan dengan kepolisian lokal, FAA (badan pengawasan penerbangan AS), Angkatan Udara, kampus lokal, Badan Keamanan Transportasi AS, penyedia persenjataan militer, dan berbagai pihak lainnya.


Informasi juga dapat diperoleh FBI melalui berbagai sumber, seperti dari masyarakat umum, agensi federal lain, pejabat kepolisian lokal maupun negara, mitra kerja dari negara asing dan sumber-sumber intelijen yang dimiliki biro itu sendiri.

“Hal pertama yang kami lakukan adalah memprioritaskan penanganan ancaman terhadap keamanan masyarakat umum atau kejadian apapun yang dapt menimbulkan bahaya terhadap seseorang,” ungkap Gary Adler, penyelia agen istimewa dan kepala regu di Newark. Para agen dan analis yang menjadi bagian gugus tugas penanganan terorisme bekerja sama melakukan kegiatan pengawasan dan pemeriksaan latar belakang.


“Dalam skenario yang lebih besar, kami harus memeriksa lebih lanjut setiap petunjuk yang didapatkan untuk memastikan semuanya terungkap, walau hanya beberapa dari petunjuk itu benar-benar berhubungan dengan aksi terorisme,” kata Roger Morrison, kepala seksi Pusat Penanganan Krisis Nasional.

FBI juga menjalankan “CT (Counterterrorism) Watch” untuk memonitor berbagai insiden yang mencurigakan dan ancaman lainnya. Hal ini dilakukan para agen dan analis 24 jam sehari.

“Bila kami sudah mendapatkan sebuah nama, maka analis intelijen akan mencari informasi tambahan terhadap nama tersebut. Mereka akan menghubungi agensi intelijen lainnya dan mencari tambahan informasi dari database yang mereka punya. Sementara itu, para agen dan spesialis langsung menangani kasus tersebut di lapangan,“ kata Paul Akman, Asisten Kepala Seksi Analisa Counterterrorism.

Semuanya telah dilakukan FBI untuk mengawasi perkembangan rencana aksi terorisme di wilayah kedaulatan Paman Sam. Mereka tentu tidak ingin kejadian 11 September yang mencoreng nama besar agensi mereka kembali terulang. [CNN.com/Stephanus Rezy Anindito]