Rabu, 16 Juli 2008

Geliat Omprengan Malam


Dini hari itu hanya tampak beberapa orang masih berada di pinggir Jl Mayjen Sutoyo, Cawang, Jakarta Timur. Beberapa di antara mereka terlihat berjalan gontai menuju sebuah mobil yang diparkir di dekat jembatan penyeberangan tepat di depan Rumah Sakit Universitas Kristen Indonesia (UKI).
Walau mereka tidak mengenal satu sama lain, namun tujuan mereka sama ketika menaiki mobil yang ternyata adalah sebuah mobil omprengan yakni: pulang ke keluarga mereka yang telah menunggu di Kota Hujan, Bogor. Rudy (27), seorang penumpang mobil omprengan mengungkapkan, dia bekerja di sebuah kantor di kawasan Sudirman. Pada hari-hari lainnya, ia biasa menggunakan jasa kereta api (KA) untuk pulang ke rumahnya di Bogor.
Namun, hari itu ia harus bekerja lembur sehingga tidak bisa menggunakan jasa KA yang hanya beroperasi sampai malam hari. "Hari ini saya lembur makanya pulangnya jam segini. Kalau hari biasa sih, saya biasa naik kereta api Pakuan untuk pulang ke Bogor," katanya kepada SP beberapa waktu lalu. Bagi dia, naik mobil omprengan merupakan satu-satunya alternatif yang hemat dan bisa digunakan untuk pulang ke kota tempat tinggalnya, karena bus sudah tidak ada yang beroperasi pada jam tersebut.
Hal senada juga diungkapkan Adit (21), mahasiswa perguruan tinggi swasta di Grogol, Jakarta Barat, yang juga menjadi penumpang mobil omprengan. Biasanya ia naik bus jurusan Purwakarta-Bogor yang lewat daerah UKI untuk pulang ke rumahnya di kota Bogor. Namun, karena saat itu sudah lebih dari jam 12 malam, sudah tidak ada lagi bus yang melintas di kawasan itu. Mau tidak mau, ia harus menggunakan mobil omprengan yang biasa ngetem di depan UKI. Walau ongkos yang harus dibayarnya lebih besar. "Kalau saya naik bus, paling cuma bayar Rp 7.000. Kalau naik mobil omprengan ini saya harus bayar Rp 10.000," ujarnya.
Selain harus membayar ongkos lebih besar, Adit juga tidak memperoleh kenyamanan yang biasa ia temui ketika menggunakan bus. Dengan mobil omprengan, ia harus berdesak-desakan dengan penumpang lainnya selama perjalanan. "Padahal ongkosnya lebih mahal," gerutu Adit.
Perkataan Adit pun menjadi kenyataan. Mobil Daihatsu Espass yang seharusnya maksimal berisi sekitar sembilan orang, secara ajaib bisa dijejali 13 orang. Dua orang di kursi depan, empat di tengah, enam di belakang plus seorang pengemudi. Menurut Alex (36), pengemudi mobil omprengan tersebut, hal itu terpaksa dilakukan agar ongkos yang didapatkan dari penumpang dapat menutupi biaya yang harus dikeluarkan pengemudi. Karena, selain ongkos bensin, ia juga harus membayar berbagai pungutan liar.
Tak berapa lama, mobil omprengan kecil itu telah dipenuhi penumpang. Wajah-wajah letih di dalam mobil pun menjadi semakin menderita karena harus berdesak-desakan. Namun, satu hal yang pasti, penderitaan yang mereka rasakan itu akan sirna setelah sampai di rumah, bertemu dengan keluarga yang dicintai. [S Rezy Anindito]

Tidak ada komentar: