Rabu, 16 Juli 2008

Waria Ibukota: Si ‘Cantik’ yang Mencari Nafkah di Jalanan


Malam itu, sama seperti pada malam-malam sebelumnya, perempatan jalan di depan ITC Cempaka Mas Jakarta ramai dilalui kendaraan bermotor. Keramaian tersebut hanya terhenti untuk beberapa saat ketika lampu merah menyala. Namun, jeda singkat itu ternyata tidak sepenuhnya hampa bagi para pengendara kendaraan bermotor ini. Ada sebuah sosok bertubuh sintal dan berwajah cantik yang menarik perhatian mereka.
Dengan lincah dan merdu, sosok tersebut menyanyikan lagu-lagu populer yang menghibur. Beberapa pengendara pun kemudian memberikan uang sekedarnya sebagai tanda apresiasi mereka terhadap sang biduan jalanan, bahkan ada yang sambil menggoda ketika melakukannya. Namun, sosok tersebut tidak marah dan hanya membalas dengan sebuah senyuman manis.
“Ah, saya sih udah biasa digodain, mas. Maklum aja, namanya juga mereka orang laki-laki,” ungkap Iin (25), sang sosok yang ternyata bukan seorang wanita tulen itu, kepada SP baru-baru ini.
Menurutnya, kehidupan sebagai seorang waria yang dijalaninya memang mau tidak mau penuh dengan hal-hal yang tidak menyenangkan. Namun, apabila dijalani dengan rasa takut, tentu rasa aman tidak akan pernah muncul.
Iin, yang sebetulnya memiliki nama asli Indra, kemudian bercerita awal mulanya ia datang ke Jakarta. Sekitar 5 tahun lalu, ia pergi ke ibukota dari kampung halamannya di Jawa Timur untuk bertemu dengan seorang teman. Namun, ternyata alamat yang diberikan teman tersebut salah hingga sampai sekarang pun ia tidak pernah bertemu dengan temannya itu.
Karena tidak punya ongkos pulang, maka ia pun mencoba mencari uang dengan cara mengamen di jalanan sebagai seorang waria. Ternyata, cara tersebut telah membuatnya bertahan hidup di ibukota selama ini. Dari pekerjaannya sehari-hari tersebut, ia dapat mengantungi uang sampai sebesar Rp 40 ribu setiap harinya.
Selain mengamen, Iin juga terkadang menggunakan keahliannya dalam merias dan menata rambut untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Ia sering membantu ibu-ibu tetangganya di daerah Pedongkelan, tempat tinggalnya, untuk terlihat lebih cantik ketika hendak menghadiri acara pesta pernikahan. Cita-citanya adalah memiliki salon sendiri. “Nanti kalau punya cukup uang sih, pingin buka salon sendiri,” katanya.
Walau ia menjadi seorang waria, yang oleh sebagian orang dianggap tabu, ternyata keluarga Iin di kampung halaman tidak berkeberatan dengan kenyataan tersebut. “Saya dari kecil memang sudah feminin, jadi keluarga di kampung maklum saja kalau saya sekarang seorang waria,” tuturnya.
Sebagai seorang manusia biasa, ternyata Iin juga membutuhkan cinta kasih dari pasangan. Saat ini, ia telah memiliki seorang kekasih pria yang sehari-hari berprofesi sebagai pedagang asongan yang mau menerima dirinya apa adanya. Bahkan, ia semakin sering merawat diri kini setelah bertemu pujaan hatinya.
Serupa dengan Iin, Soleha (23) mengamen di perempatan tersebut untuk mencari nafkah sehari-hari. Menurutnya, hal tersebut dilakukannya karena desakan ekonomi. “Daripada saya nggak bisa makan, lebih baik saya mengamen di sini, mas. Soalnya susah kalo mau kerja yang lain,” ungkap waria yang bernama asli Soleh ini.
Dia juga mengatakan, kesulitan terbesar yang dihadapinya ketika mengamen di jalanan adalah razia yang sering dilakukan petugas Kamtib (Keamanan dan Ketertiban) DKI Jakarta. Ketika hal itu terjadi, terkadang ia harus lari tunggang langgang menghindari kejaran petugas.
Walau sampai saat ini ia belum pernah tertangkap petugas, namun ia sangat ketakutan hal itu terjadi padanya. Berdasarkan cerita teman-temannya, perlakuan yang diterima waria yang tertangkap kurang menyenangkan.
Dia berharap, waria yang hanya mengamen seperti dirinya tidak mengalami perlakuan yang sama dengan waria yang menjajakan diri, karena pada dasarnya mereka tidak melanggar hukum. Mereka hanya berusaha bertahan hidup di ibukota.
Kekerasan di Jalanan
Berdasarkan data yang dimiliki Yayasan Srikandi Sejati, sebuah yayasan yang bergerak dalam bidang pemberdayaan waria di DKI Jakarta, hampir 60 persen waria yang tinggal di Jakarta mencari nafkah di jalanan. Sebagian besar waria tersebut berasal dari luar Jakarta dan datang ke ibukota karena tidak diterima keluarga dan masyarakat daerah asal mereka.
“Dari sekitar 4000 orang waria yang tinggal di Jakarta, hampir 60 persennya mencari uang di jalanan. Kebanyakan dari mereka berasal dari daerah dan pergi ke Jakarta karena tidak diterima keluarga dan masyarakat di daerah asal mereka. Mereka bertahan hidup di ibukota dengan cara mengamen atau menjajakan diri,” ungkap ketua Yayasan Srikandi Sejati, Lenny Sugiharto kepada SP beberapa waktu lalu.
Menurutnya, kehidupan keras di jalanan ternyata menjadi persoalan utama yang dihadapi para waria tersebut. Selama tahun 2008 ini, beberapa kasus kekerasan telah menimpa para waria yang mencari nafkah di jalanan. Bahkan, ada 3 kasus yang berujung pada kematian sang waria. Sedangkan pada tahun 2007, terjadi 5 kasus kekerasan pada waria yang berujung pada kematian.
Selain kekerasan yang terjadi dengan motif perampokan dan perseteruan antar sesama waria, ada juga kasus kekerasan yang dilakukan petugas keamanan dan ketertiban ketika melakukan razia terhadap waria yang menjajakan diri.
“Memang, waria yang menjajakan diri telah melanggar Perda yang berlaku. Namun, tidak sepantasnya mereka mendapat perlakuan kasar ketika razia dilakukan para petugas keamanan dan ketertiban,” tandasnya.
Oleh karena itu, dia menambahkan, pihaknya telah melakukan usaha pendampingan terhadap para waria yang mengalami tindakan kekerasan ketika melakukan pelaporan terhadap pihak yang berwenang. Namun, sampai saat ini, pemrosesan kasus kekerasan terhadap waria masih belum berlangsung secara memuaskan.
Proses Pembinaan
Untuk mengangkat harkat waria yang masih ‘berkeliaran’ di jalanan, Yayasan Srikandi Sejati telah melakukan berbagai upaya pembinaan agar para waria tersebut dapat memperoleh penghidupan yang layak tanpa harus menghadapi kehidupan jalanan yang keras.
Yayasan yang resmi didirikan ‘sesepuh-sesepuh’ waria, PKM UI dan berbagai pihak lainnya pada tahun 1998 ini menekankan pemberdayaan dalam bidang ekonomi dengan membantu usaha-usaha menghasilkan yang dapat dilakukan para waria.
Selain berdagang, mereka juga dilatih berbagai keahlian. Antara lain, membuat berbagai kerajinan tangan seperti kalung, anting-anting dan berbagai aksesori lainnya, keahlian tata rias, tata boga, menjahit, keahlian komputer, menyanyi dan lain sebagainya. Ada juga pelayanan konsultasi dan sosialisasi, terutama aspek kemasyarakatan, terhadap para waria.
Bahkan, sejak tahun 2002, kegiatan Yayasan Srikandi Sejati mulai ditekankan pada pelayanan kesehatan baik berupa penyebaran informasi, pengawasan maupun partisipasi dalam penyembuhan. Hal ini sehubungan dengan semakin tingginya angka penularan HIV/AIDS di kalangan waria.
Keberlangsungan yayasan ini tak lepas dari bantuan berbagai pihak baik sebagai sponsor ataupun donatur. Beberapa diantaranya adalah USAID, HIVOS dan berbagai yayasan yang bergerak pada bidang kesehatan, khususnya HIV/AIDS. Yayasan-yayasan tersebut merupakan yayasan pendamping yang menjadi bagian dari progran-program kerja Yayasan Srikandi Sejati. [SRA]

Tidak ada komentar: